Admin Admin
Jumlah posting : 257 Join date : 22.01.08
| Subyek: PEMEKARAN WILAYAH SULUT: HARUSKAH KE AKAR-ETNIS? Thu Feb 07 2008, 14:57 | |
| PEMEKARAN WILAYAH SULUT: HARUSKAH KE AKAR-ETNIS? Amatan atas Pengalaman Sulawesi Utara. (A.J. Ulaen) 1. Pengantar Usulan pemekaran wilayah-administratif – baik itu pada tingkat propinsi dan kabupaten maupun kecamatan dan desa atau kelurahan – semenjak lima tahun terakhir ini menggejala umum di tanah air. Pulau Sulawesi, ketika Indonesia baru merdeka, merupakan satu wilayah administrasi berstatus propinsi. Kini sudah terbagi atas lima propinsi . Itu pun terasa belum cukup. Masih terdengar tuntutan pemekaran wilayah propinsi baru . Belum lagi pada tingkat kabupaten, kecamatan dan desa/kelurahan. Kesemua usulan itu memanfaatkan peluang desentralisasi sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah . Apabila usulan pemekaran seperti itu semata-mata dijiwai oleh alasan-alasan politis-administratif serta efektivitas penyelenggaraan layanan masyarakat (warga), maka gejala seperti itu dapat ditafsirkan sebagai adanya kesadaran warga berperan-serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadaannya menjadi berbalik dan cukup mengkawatirkan ketika satuan-satuan wilayah yang diusulkan untuk dimekarkan berkorelasi dengan aspek sosio-kultural dan historis, yakni alasan dan pertimbangan kesuku-bangsaan dalam suasana penguatan kekuatan politik di tingkat daerah atau lokal. Mengkhawatirkan, seperti yang dipertanyakan oleh Elizabeth Morrell dalam artikelnya berjudul Desentralisasi atau Separasi? membahas gejala serupa yang sedang terjadi di daerah Sulawesi Selatan. Sayangnya, kajian Morrell ini tidak mengungkapkan keterkaitan antara pemekaran wilayah dengan kecenderungan penguatan semangat keetnisan, melainkan lebih melihat pada alasan pengembangan wilayah. Tulisan ini, sebatas kasus Sulawesi Utara, akan memaparkan keterkaitan antara pertimbangan etnis sebagai salah satu alasan yang melandasi tuntutan pemekaran wilayah.
2. Dari Propinsi Sulawesi ke Propinsi Sulawesi Utara Pembagian wilayah administratif di Indonesia – dengan beberapa pengecualian – sebagian besar didasarkan pada prinsip pewilayahan warisan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga menata wilayahnya berdasarkan prinsip teritori-tradisional. Maksudnya, didasarkan pada “pewilayahan hukum adat”. Sulawesi – pada awalnya berstatus satu propinsi dalam sistem pewilayahan administratif Republik Indonesia – pada tahun 1960 dimekarkan menjadi dua wilayah adminsitratif setingkat propinsi, yakni Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, disingkat Sulutteng. Wilayah yang disebut terakhir ini didasarkan pada latar dan pertimbangan historis, yakni bekas wilayah “Keresidenan Manado”. Pada tingkatan wilayah kabupaten atau daerah tingkat dua, juga mengikuti satuan-satuan wilayah yang sudah terbentuk semasa pemerintahan kolonial, entah itu bekas wilayah swapraja, kerajaan dan sebagian besar adalah wilayah etnis. Pemekaran wilayah adminsitratif setingkat propinsi di Sulawesi masih berlanjut setelah adanya Propinsi Sulawesi Tenggara dan propinsi Sulawesi Tengah. Sekilas, usulan pemekaran wilayah seperti ini mengesankan adanya pertimbangan-pertimbangan rasional untuk pengembangan wilayah, efisiensi layanan publik dan sebagainya. Itu yang terbaca dalam dokumen-dokumen resmi usulan pemekaran baik dari pihak eksekutif maupun pihak legislatif di propinsi-induk. Namun, dapat dijumpai alasan-alasan lainnya – yang tidak tercatat dalam dokumen resmi, tapi terekam dalam pemberitaan media cetak setempat – yang mengindikasikan adanya alasan-alasan emosional-primordial; sebagai reaksi atas “kebijakan-kebijakan baik pada tingkat penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi. Pengalaman kesejarahan menunjukkan bahwa tuntutan “status otonomi” dalam artian adanya perimbangan kekuasaan dan pembangunan antara penyelenggara pemerintahan di “pusat” dengan penyelenggara pemerintahan di “daerah” sudah disuarakan oleh tokoh-tokoh daerah Sulawesi yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Permesta” pada tahun 1957 (Harvey, 1984; Leiriza, 1991). Pemekaran propinsi Sulawesi menjadi dua propinsi tampaknya tidak dapat dipandang lepas kaitannya dengan peristiwa di atas. Di satu sisi, tuntutan atas “status otonomi” diobati dengan pemekaran wilayah. Disisi lain hal ini dapat dipahami sebagai upaya mereduksi dan memperkecil kekuatan di daerah agar mudah dikontrol. Di Era desentralisasi atau setelah diberlakukannya UU No. 22/1999, wilayah propinsi yang semula dikenal dengan sebutan Propinsi Sulawesi Utara, dimekarkan menjadi dua propinsi. Propinsi Sulawesi Utara dengan wilayahnya meliputi kabupaten Bolaang-Mongondow, Minahasa, Sangihe dan Talaud, serta dua kota yakni Manado dan Bitung. Propinsi Gorontalo meliputi wilayah Kabupaten Gorontalo yang juga sudah dimekarkan menjadi kabupaten Gorontalo dan kabupaten Bualemo; dan kota Gorontalo. Pada tingkatan kabupaten di wilayah propinsi Sulawesi Utara, wilayah kabupaten Sangihe dan Talaud telah dimekarkan menjadi kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud; Kabupaten Minahasa dimekarkan menjadi dua kabupaten yakni kabupaten induk (Minahasa) dan kabupaten baru (Minahasa Selatan) ditambah satu kota (Tomohon). Tampaknya, ini belum merupakan hasil akhir. Warga Minahasa yang berada dan berasal dari wilayah bagian Utara menuntut adanya kabupaten Minahasa Utara. Begitu juga dengan warga pulau-pulau Siau-Tagulandang-Biaro, menuntut kehadiran kabupaten SiTaro.
3. Komunitas Etnis di Sulawesi Utara
Antropolog dan etnolog yang menaruh perhatian atas wilayah ini mendeskripsikan keberadaan komunitas-komunitas etnis yang ada di wilayah administrasi propinsi Sulawesi Utara, yakni “orang Gorontalo” sebagai kelompok etnis terbanyak. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat sebanyak 897.235 jiwa yang menetap di wilayah Propinsi Sulawesi Utara. Peringkat kedua dalam hal jumlahnya adalah “orang Minahasa” dan terdiri atas sub-etnis Tontemboan, Toulour, Tombulu, Tonsea, Tonsawang, sebanyak 824.600 jiwa. Orang Sangir berada pada urutan ketiga dengan jumlah, 396.510 jiwa. Orang Bolaang dan Mongondow, 224.749 jiwa. Orang Talaud, 79.838 jiwa . Selain itu masih ada komunitas etnis dalam jumlah yang kecil seperti Orang Bantik, Orang Bajau, Orang Jaton dan komunitas etnis dari Nusantara yang sudah lama menetap di Sulawesi Utara. Pengalaman kesejarahan telah menempatkan Orang Minahasa sebagai komunitas etnis yang berperan-besar dalam berbagai aspek kehidupan di daerah Sulawesi Utara. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ketersediaan pranata pendidikan modern yang sudah diperkenalkan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda dan terpusat di daerah Minahasa, ditunjang oleh ciri budaya dan tradisi-sumekolahnya . 4. “Bohusami”, Etnisitas dalam Slogan Politik
Pada tahun 1980-an, dalam ranah-politik di daerah Sulawesi Utara muncul semangat kesetaraan dari warga komunitas non-etnis Minahasa terutama keinginan dan keterlibatannya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gejala ini oleh elit politik dan eksekutif di tingkat propinsi ditanggapi dengan kebijakan-politik yang tercermin dalam slogan bohusami, sebuah akronim dari bo = Bolaang-Mongondow, hu = Hulontalo (Gorontalo), sa = Sangihe dan Talaud, mi = Minahasa. Kebijakan ini mengakomodir keterwakilan komunitas etnis baik pada tataran elit politik terutama eksekutif. Jika gubernurnya orang Minahasa, maka diusahakan agar pejabat pada aras Pimpinan Daerah seperti Sekretaris daerah, Ketua DPR, Kepala Kejaksaan Tinggi dan bahkan Kapolda serta Komandan Korem sebaiknya diisi oleh warga komunitas etnis lainnya. Lambat laun kebijakan seperti ini menjadi kesepakatan yang tidak tertulis dan diterapkan hingga unit kerja yang lebih kecil, pada organisasi sosial dan politik. Pada awalnya kebijakan seperti ini mampu meredam riak-dinamika politik di daerah . Namun, sepanjang tahun 1990-an, ketika orang Gorontalo merasa sudah saatnya mereka diberi kesempatan menduduki jabatan Gubernur dan hal itu tidak terpenuhi, pemekaran wilayah menjadi solusi utama. Kasus ini menjadi pelajaran bagi elite politik di daerah. Slogan-politik bohusami seakan terlupakan bersamaan dengan pemekaran wilayah propinsi Sulawesi Utara menjadi Propinsi Sulawesi Utara dan Propinsi Gorontalo. Sebagai gantinya, dipopulerkan slogan “torang samua basudara” (Kita semua bersaudara). Tuntutan pemekaran wilayah di sisi lain menjadi semacam “cara untuk menggertak” pemerintah propinsi, apabila ada wilayah yang kurang mendapat perhatian atau permintaannya tidak dipenuhi . Reaksi seperti itu seringkali disuarakan baik oleh para wakil rakyat maupun politisi. Lebih tragis lagi ialah pernyataan yang disuarakan oleh salah seorang wakil-rakyat dengan nada sumbang dan dapat ditafsirkan sebagai manifestasi cara berpikir disintegratif .
5. Catatan Akhir
Lepas dari pertimbangan dan alasan-alasan rasional-obyektif, menguatnya kesadaran-etnis menjadi salah satu faktor pendorong dan pertimbangan mengajukan tuntutan pemekaran wilayah-administratif di Sulawesi Utara. Menariknya ialah proses pemekaran dan penunjukan pejabat yang akan bertugas di “daerah baru” hasil pemekaran disambut dengan wacana “putra-daerah” sebagai syarat utama; keinginan untuk membangun wilayahnya tanpa campur tangan luar, dan sebagainya. Disadari atau tidak, kenyataan seperti ini kalau tidak disimak, disiasati, dan dikelola secara cermat dan bijak, akan menjadi lahan-subur bagi tumbuhnya benih-benih disintegrasi. | |
|