rosian rosian
Jumlah posting : 49 Join date : 22.01.08 Age : 75 Lokasi : Jakarta
| Subyek: IN MEMORIUM IQBAL ...Sambungan bgn 4 Wed Mar 05 2008, 13:55 | |
| IN MEMORIUM IQBAL ...Sambungan bgn 4Demikian pula ketika tahun 1995 eksistensi Ormas Pemuda digugat oleh Hayono Isman, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI ketika itu. Hayono Isman, melalui pemyataannya mengenai OKP papan nama, melontarkan gagasan untuk membekukan Ormas-ormas pemuda papan nama tersebut. Tapi Iqbal, sebagai orang yang sangat memahami dinamika organisasi kepemudaan, mencoba menetralisir pernyataan Hayono Isman tersebut. la tidak ikut-ikut menghujat, tapi justru mencoba mendudukan persoalan pada proporsi yang sebenamya. Menurut Iqbal, OKP adalah sebuah organisasi yangtidak bisa lepas dari latar belakang kesejarahan, ideologi, doktrin dan tujuan pembentukannya. Lebih dari itu, katanya, OKP lahir dengan latar belakang yang sarat nuansa politis. “Makanya, jika pergelutan atas nuansa politis itu membuat OKP yang bersangkutan stagnan padahal tuntutan zaman sudah berubah, ia. tetap tak bisa dibubarkan. la tetap saja sebuah organisasi karena ia memiliki tujuan, rule of organization dan anggota,” bela Iqbal ketika itu. Sikap yang sama juga diperlihatkan Iqbal ketika Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), sebagai organisasi wadah berhimpun pemuda, pada tahun 1996 dihujat oleh banyak orang karena performanya yang sangat ridak kondusif bagi kehidupan kaum muda itu sendiri. Iqbal yang pemah duduk sebagai anggota majelis pemuda Indonesia tersebut, meski mengakui tidak setuju terhadap banyak kebijakan pengurus KNPI ketika itu, toh masih memandang positif keberadaan organisasi wadah berhimpun pemuda Indonesia yang dibentuk pada tahun 1973 itu. Menurut Iqbal, sudah sewajarnya jika pengurus KNPI memahami bahwa sebagai wadah berhimpun ia adak boleh menempatkan Ormas-Ormas pemuda yang berhimpun di dalamnya sebagai sub koordinat dari KNPI. Sebab, katanya, bukan posisi seperti itu yang diinginkan Ormas Pemuda yang ada _an berhimpun di KNPI. Seharusnya KNPI memposisikan diri lebih sebagai sarana untuk memfasilitasi aktivitas dan kreativitas kaum muda Indonesia. Dalam konteks itulah, katanya, struktur kepemimpinan di KNPI tidak bisa diposisikan sebagai kepemimpinan yang birokratis, dimana posisi Ketua Umum dan Sekjen menjadi begitu sentral sehingga tidak memberi ruang bagi teIjadinya proses dialog. Akibatnya KNPI menjadi tidak terbuka dan proses membangun kebersamaan menjadi mandeg. Ia menambahkan, kepemimpinan dalam KNPI seharusnyalah dipandang sebagai amanah. “Terutama amanah untuk mengayomi,” katanya. Makanya, tambah Iqbal, selama pengayoman itu tidak didapat dari yang mengayomi, selama itu pula tidak ada respek dari ormas-ormas pemuda yang berhimpun di KNPI terhadap kepemimpinan di tubuh KNPI itu sendiri. Oleh sebab itulah Iqbal mendesak agar segera dilakukan revitalisasi dan reaktualisasi di tubuh KNPI. “Terutama dalam hal kinerja dan semangat keberhimpunannya,” kata Iqbal. Mengapa hal itu mendesak dilakukan, menurut Iqbal, karena sejak dibentuk tidak ada satupun pengurus KNPI yang berani berpikir secarajujur. “Yang berpikir dengan logika yang benar mengenai betapa perlunya menata kembali KNPI sebagai wadah berhimpun organisasi pemuda,” katanya. Di luar aktivitas kemahasiswaan dan kepemimpinan itu, perhatian Iqbal dalam soal-soal keagamaan pun cukup besar. Dalam menanggapi berbagai persoalan yang menyangkut masalah keagamaan, terutama yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ubudiyah, Iqbal memperlihatkan pemahamannya yang sangat mendalam pada inti persoalan. Baginya agama diturunkan sebagai pedoman dan pemandu bagi manusia untuk mengenal dirinya secara utuh, baik jasmani maupun rohani, agar dengan demikian manusia bisa mengenal Tuhannya. Pengenalan dan pemahaman kepada Allah yang maha kuasa, menurutnya, adalah prasyarat utama bagi manusia untuk dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba sekaligus sebagai khalifahNya di muka bumi. “Dengan begitu, setiap syariat agama senantiasa mengandung di dalamnya dua aspek secara utuh, yakni aspek jasmaniah, sosial kemasyarakatan (hablumminnas) dan aspek rohaniah, ketauhidan. (hablumminallah),” katanya. Itulah sebabnya, tambah Iqbal, dalam konteks posisi dan peran, paradigma Allah dimulai dengan menempatkan makhluknya pada posisi (maqam) tertentu kemudian disusul dengan peran yang harus dilaksanakan. Sedangkan dalam paradigma manusia, posisi seseorang dicapai tatkala ia telah memainkan perannya secara optimal. “Makanya paradigma Allah harus didekati secara imaniah karena berdimensi gaib dan penuh dengan hikmah, sementara paradigma manusia didekati secara rasional objektifdan transparan tanpa dimensi keghaiban,” katanya lagi. Sayangnya, tambah Iqbal, dalam memahami makna hablumminallah wa hablumminannas ini, di sementara orang terjadi salah kaprah dengan semata-mata menerjemahkannya dalam konteks amaliah tanpa memahaminya secara utuh sebagai suatu sistem berpikir. Dengan latar historis dan visi yang demikian itu, Iqbal kemudian melakukan berbagai terobosan pemikiran dan bahkan aksi fisik ketika ia memperoleh kepercayaan untuk memimpin sekitar 6 juta warga Ansor di seluruh Indonesia. Seharisetelah ia terpilih di kongres yang berlangsung relatif damai di Palembang, Sumatera Selatan, Iqbal dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa apa yang ingin ia lakukan pertama kali di Ansor adalah menjahit kembali kekompakan, membangun solidaritas dan menumbuhkan rasa memiliki antar sesama warga Ansor. “Sedang program saya ke depan adalah membangun ekonomi umat. Baik dengan memasuki dunia usaha lewat cara-cara yang benar, maupun dengari memfasilitasi anggota untuk menjadi kader Ansor yang produktif,” katanya. Untuk itulah, ujar Iqbal, ia siap membangun pola kemitraan dengan pemerintah dan kalangan swasta. “Saya ingin membawa Ansor menjadi organisasi yang besar tidak dalam pengertian “massa” semata-mata,” tambahnya. Dengan pandangan yang demikian itu, Iqbal tidak lantas mengabaikan kenyataan historis yang mendasari lahir dan terbentuknya Ansor di masa lalu. Komitmennya yangjelas terhadap kenyataan historis Gerakan Pemuda Ansor yang lahir 24 April 1934 di Banyuwangi itu, telah mendorongnya untuk mengeluarkan sikap tegas ketika pada tahun 1998 di kabupaten itu mendadak teIjadi banjir darah oleh ulah sekelompok orang yang disebut-sebut pihak kepolisian sebagai “ninja”, yang membantai ratusan warga NU di Banyuwangi dengan dalih dukun santet. Demikian pula ketika di Ambon, daerah yang merupakan ibukota propinsi di mana ia dilahirkan, usai sholat Idul Fitri 1998, tiba-tiba saja terjadi “perang” saudara sehingga menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa. Dan Iqbal, dengan sangat lantang dan tegas, di depan para wartawan dalam dan luar negeri, mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima kenyataan terjadinya “perang saudara”tersebut sebagai suatu yang muncul begitu saja. Dalam sejarah masyarakat Maluku, katanya, tidak pemah ada peristiwa yang bisa melegitimasi terjadinya perang saudara semacam itu. Komitmennya yang tegas terhadap humanisme universal itu, ditambah lagi dengan spirit nasionalismenya yang demikian besar, membuat Iqbal kemudian dikenal sebagai anak muda yang konsisten memegang teguh kenyataan sejarah kebangsaannya. Pada waktu para: Kyai dan warga NU di Banyuwangi dibunuh secara sadis oleh orang-orang yang sampai kini tak diketahui “jatidirinya”, Iqbal serta merta menyatakan bahwa peristiwa pembantaian di bekas kerajaan Blambangan itu sebagai tragedi nasional. “Pembantaian biadab itu dilakukan oleh suatu gerakan terorganisir yang tak bisa dibiarkan,” katanya. Menurutnya, pembantaian di Banyuwangi bukanlah peristiwa kriminal mumi karena sasarannya bukanlah orang yang semata-mata diduga dukun santet, melainkan banyak juga tokoh-tokoh agama dan warga masyarakat dari kalangan NU. Oleh karenanya Iqbal mengutuk keras “otak” pelaku pembantaian tersebut dan meminta pemerintah segera mengatasinya.
.....TAMAT | |
|