rosian rosian
Jumlah posting : 49 Join date : 22.01.08 Age : 75 Lokasi : Jakarta
| Subyek: IN MEMORIUM IQBAL ...Sambungan bgn 2 Wed Mar 05 2008, 13:35 | |
| IN MEMORIUM IQBAL ...Sambungan bgn 2Selain mejual roti, dirumah pamannya itu Iqbal juga diberi tugas mengisi bak air. Di Ternate, sumur keluarga Aba Ye sangat dalam karena rumah mereka ada diatas bukit. Mungkin karena tugas itulah tubuh Iqbal ketika kecil terlihat kekar dan berotot. Tapi ujar Aba Ye, karena anak-anaknya juga banyak tugas mengisi bak air tak sepenuh oleh Iqbal. “Saya membuat jadwal dan membagi tugas mengisi bak air itu dalam kelompok. Iqbal satu ke;lompok dengan anak saya Najib,” ujar Aba Ye.Tapi waktu itu kata Aba Ye, Iqbal justru meminta agar ia sendiri saja yang mengisi bak ait tanpa harus menyertakan Najib. “Saya haru terharu mendengar permintaanya itu. Padahal saya akan menunjukkan padanya bahwa saya tidak pilih kasih. Saya katakan padanya bahwa semua anak saya harus bekerja,” kenang Aba Ye. Aba Ye menyebutkan, sejak kecil Iqbal adalah anak yang penurut, sopan dan hormat pada yang lebih tua. “Dia tidakpernah melawan pada saya.Apayang saya katakan tidak pernah dibantahnya,” tutur Aba Ye. Tapi di sisi lain, kata Aba Ye, dia selalu ingin tahu kesulitan orang lain. Jika ada persoalan, dia selalu ingin ikut membantu. Saya sering ingatkan dia jangan suka mencampuri masalah orang. “Tapi itu rupanya sudah menjadi pembawaannya,” ujar Aba Ye lagi. Menurut Aba Ye, Iqbal adalah seorang yang tidak bisa melupakan begitu saja jasa orang kepadanya. Bahkan, kata Aba Ye, dia selalu ingin membantu siapa saja yang kesusahan. “Dia tidak bisa melihat penderitaan orang lain. Bahkan setelah ia di Jakarta, saya sendiri sering sekali menerima kiriman uang darinya,” tutur Aba Ye. Iqbal tinggal di rumah ayah angkatnya ini sampai ia menamatkan SMA-nya. “Waktu itu saya tidak tahu apakah diad bisa melanjutkan sekolah atau tidak. Untungnya ketika tamat SMA dia memperoleh beasiswa dari P dan K karena dia terpilih sebagai lulusan terbaik diSMA I Ternate. Dia ikut program PMDK dan boleh masuk ke IPB tanpa tes,” ujar Aba Ye. Dan ketika Iqbal berhasil kenyelesaikan kuliahnya di IPB dengan baik, bukan main bangganya hati Aba Ye. Menurutnya,keberhasilan itu diraih Iqbal karena sejak kecil dia sudah mwendapatkan pengalaman hidup yang cukup keras ditambah pengalaman mas kecilnya yang cukup pahit. “Waktu dia diwisuda, saya diundangnya untuk hadir, saya m,engahadiri acara wisuda itu. Saya bangga sekali, saya kira tidak ada orang tua yang tidak bangga menyaksikan anaknya berhasil, “kenang Aba Ye. Aba Ye menuturkan, saat-saat terakhir sebelum kecelakaan yang membawa kematiannya itu, Iqbal masih sempat mengundangnya datang ke Jakarta. Dia bilang, “Sudah Aba Ye, nanti saya kirim uang untuk beli tiket.” Bahkan saya sempat bercanda paadanya, “Nanti kalau kita mati, ngana sudah tidak lihat Pa kita,” kata saya. Mendengar itu, kata Aba Ye, Iqbal marah dan mengatakan, “Aba Ye jangan bilang begitu. Pokoknya Aba Ye harus datang.” Tuturnya. Rupanya, kata Aba Ye, kedatangannya memenuhi undangan Iqbalitu hanyalah untuk menghadiri saat-saat terakhir kepulangannya kekampung akhirat. “Saya tidak bisa berkata apa-apa waktu itu. Saya hanya berdo’a semoga lepulangannya itu mendapat tempat disisi Allah SWT,” kenang Aba Ye. Rasa bangga yang sama diungkapkan oleh Said Al-Hadar, paman Iqbal lainnya yang tinggal di Jakarta. Menurut Ami Id, demikian Iqbal suka memanggilnya, keberhasilan yang diraih Iqbal adalah bherkat keuletan Iqbal sendiri. “Dia seorang yang memang ssangat Ulet.waktu kuliah dulu dia tidak pernah berfikirsoal biaya. Cita-citanya Cuma satu, ingin jadi orang yang berguna,” kata Ami Said. Untuk memenuhi cita-citanya itulah, kata Ami Id, Iqbal bekerja sambil kuliah. Selain Itu, kata Ami lagi, kebanggaanya timbul karena Iqbal, sekalipun sudah menjadi tokoh pemuda, tidak pernah melupakan keluarganyadan tetap memiliki hormat yang luar biasa pada orang tua. Dan itu katanya, ditunjukkan Iqbal dengan sealu datang dan nkmeminta nasehat kepaadanya. “Dia bahkan tidak pernahmau mebantah apapun yang saya katakan,” ujar Ami Id. Dan, seperti Aba Ye juga, dalam kenangan Ami Id, Iqbal adalah seorang yang tidak pernah lupa pada keluarganya. “Dia memiliki p[erhatian kepada keluarganya yang luar biasa. Dia tidak bisa melihat orang lain menderitadan selalu ingin menolongnya. Terlebih setelah dia bekerja,” kata Ami Id. Waktu kuliah dulu, kata Ami Id, Iqbal selalu datang padanya bukan Cuma untuk meminta nasehat, tetapi juga memohon dukungan agar dia bisa maju. “Dan sebagai orang yang telah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya di Jakarta, saya selalu memberinya support,” ujar Ami Id. Disebutkannya, sekalipun Iqbal sangat hormat kepadanya, tapi Iqbalpun sangat terbuka kepadanya,. Bukan saja ketika kuliah, tetapi juga setelah berumah tangga. Ami Id mencontohkan kepada keterbukaan Iqbal itu dengan menjadikan dirinya sebagai tempat Iqbal mengadukan semua kesulitan yang dialaminya. “Waktu kuliah dulu dia suka datang pada saya dan minta uang untuk menutupi kebutuhannya. Dan saya selalu memberinya sesuai dengan kemampuanh saya,” kenang Ami Id. Namun, kata Ami Id lagi; “Satu hal yang saya larang dilakukannya adalah meminjam, sebab meminjam ada konsekuensinya, yakni harus membayar. Kita akan ditagih orang. Tapi minta, kalau dikasih ya syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa,” katanya. Karena itu, tambah Ami Id, selalu saya katakan kepadanya, gunakanlah uang yang ada sehemat mungkin. “Tetapi setahu saya Iqbal hanya meminta uang pada saya kalau dia memang sudah sangat terdesak dan sangat membutuhkannya. Biasanya dia hanya meminta uang pada saya untuk keperluan kuliahnya dan memenuhi biaya hidupnya di Bogor,” kata Ami Id lagi. HIDUP ITU TIDAK SENDIRI Diluar pelajaran tentang kerasnya perjuangan hidup yang dialami Iqbal dimasa-masa kanak-kanaknya itu, orang yang justru berpengaruh pada pem,bentukan watak dan kepribadian Iqbal di kemudian hari adalah ayahnya sendiri. Ayahnyalah, Habib Husein Ahmad Assegaf, yang menanamkan pemahaman tentang nilai-nilai filosofis kehidupan kepadanya.. Hal ini bisa dimaklumi karena, menurut Rahma, sekalipun Iqbal sejak SD kecil tinggal di Ternate, namun setiap kali liburan sekolah tiba, dia tetap menyempatkan diri pulang keBajo bertemu ayahnya. Selama pertemuan di masa liburan itulah ayahnya selalu bercerita sejarah kebesaran Islamdan keduanya kemudian menghabiskan waktu dengan berdiskusi tentang persoalan tersebut. Terkadang ayahnya menceritakan sejarah itusambil mengajaknya memancing ikan dilaut.Bahkan ketika kemudian Iqbal sudah sudah duduk dibangku SMA dan ia menyadari potensi yang dimiliki anaknya itu, dia pun mulai menceritakan tentang kandungan-kandungan filsafat karya beberapa filosof terkemuka, diantaranya pemikir Muhammad Iqbal. Bahkan, selain hal-hal bersifaty rasional tadi, ayahnya juga mengajarkan masalah-masalah yang menyangkut tarekat. Iqbal sendiri, dikemudian hari, mengaku msangat bangga pada ayahnya tersebut. Bagaimana besarnya pengaruh pendidikan watak yang ditanamkan ayahnya itu mepengaruhi kehidupan Iqbal dikemudian hari, bisa dilihat dalam berbagai aktivitas Iqbal bahkan sampai akhir-akhir masa hayatnya. Sebagai anak lelaki, sejak kecil Iqbal sudah diajari mengenai bahwa dia tidak hidup sendiri didunia ini. Sejak kecil dia sudah diajari dirinya adalah bagian kecil dari komunitas besar lingkungan masyarakatnya. Dan ajaran seperti itulah, ujar Iqbal suatu kali, yang selalu mendorongnya untuk tetap berdiri pada kerangka berfikir dan keinginan bertindak secara komunal. Bahkan ajaran seperti itu pula yang selalu mendorongnya untuk tampil sebagai “pioneer” bagi penyelesaian problem yang dihadapi teman-temannya. Karenanya, bukan hal aneh ketika Iqbal menjadi ketua Umum PMII atau saat ia menjadi ketua Umum GP Ansor sampai menjelang akhir hayatnya, didatangi teman-teman dan adik-adik organisasssinya yang minta uang untuk biaya kuliah atau untuk mebayar uang kost. Bahkan tidak aneh pula kalau sebagai ketua umum Organisasi pemuda dilingkungan NU, Iqbal rela meminjami sekedar kopiah dan ikut mengantarkan adik kelasnya diorganisasi yang ingin menikah sekalipun ia harus rela keluar masuk pelosok-pelosok desa. Iqbal tak pernah sayang mengeluarkan uang maupun tenaganya untuk menolong sahabat-sahabat yang mebutuhkan pertolongan itu. Tidak sedikit Adik kelas atau rekan organisasi yang pernah “dibantunya” itu kini malah tampil sebagai politisi atau usahwan muda yang sukses. Dan keikhlasan seperti itu, tidak bisa tidak, adalah cerminan sebuah sikap solider yang sangat dimotivasi oleh pendidikan yang ditanamkan ayahnya dan pengalaman hidup Iqbal sendiri pada masa kecilnya. Solidaritas Iqbal terhadap lingkungannya itu bisa dilihat ketika tahun 1997 misalnya, saat Jakarta dilanda banjir besar dan rumah-rumah penduduk yang tinggal di bantaran kali Ciliwung terendam air, Iqbal, pada suatu malam mengajak isterinya membawa makanan. dan mendatangi penduduk yang terkena musibah itu di kawasan Kalibata. Rahma menuturkan, mulanya dia menolak dan meminta Iqbal untuk datang besok siang saja. Tapi Iqbal justru bersikeras untuk datang malam itu juga. “Saya akhirnya mengalah. Malam itu juga kami datang ke Kalibata dengan membawa makanan. Tapi karena gelap, sampai-sampai bemper mobil yang kami tumpangi penyok karena menabrak trotoar,” cerita Rahma. Tapi Iqbal, kata Rahma, justru tenang saja. Ketika Rahma akhirnya bertanya mengapa untuk memberi bantuan saja harus malam-malam, Iqbal menjawab bahwa itulah yang dilakukan Imam Ali r.a. Menurut Rahma, ketika itu Iqbal mengatakan bahwa Imam Ali La justru memilih malam hari untuk mem¬bantu orang agar ketika tangan kanannya memberi bantuan tangan kirinya tidak mengetahui. Pada hari yang lain, Dicky, anak tertuanya menceritakan bagaimana seorang teman sekolahnya tidak boleh ikut ujian karena belum membayar uang sekolah. Iqbal yang mendengar cerita anaknya itu lalu menyuruh isterinya, Rahma, untuk membayarkan uang sekolah ternan anaknya tersebut. Semua yang dilakukan Iqbal itu tampaknya sangat dipengaruhi oleh pengalaman Iqbal sendiri yang sejak kedl sudah merasakan bagaimana pahitnya hid up sebagai orang tak berpunya. Selain itu, sebagai anak daerah yang menuntut ilmu jauh dari kampung halamannya, Iqbal adalah juga “anak kost” yang kenyang dengan asam garam perjuangan hidup di kampung orang. Bayangkan saja, sejak kelas empat SD ia telah berpisah dari orangtuanya dan hidup di rumah ayah angkatnya. Bahkan ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Jawa pada tahun 1977 dan kemudian kuliah di IPB Bogor, ia hanya diantar oleh abangnya, Ridwan Assegaf (alm-pen), cuma sampai di pintu gerbang kampus. “Sekarang kamu sendirilah yang akan menentukan hidup dan masa depan k.amu. Kamu mau jadi orang atau tidak, kamu sendirilah yang harus mengatasinya,” ujar Iqbal suatu kali menirukan kata-kata Ridwan, abangnya. Kesadaran berpikir dan bertindak atas nama kepentingan “orang banyak” itulah yang agaknya turu t membentuk kemampuan Iqbal sebagai organisatoris. Dan itulahlah yang membuat ternan-ternan di masa kanak-kanaknya di SMP Negeri Ternate mendaulatnya untuk menjadi Ketua OSIS hingga ia tamat pada tahun 1974. Pendaulatan itu terulang kembali ketika ia menanjak remaja dan meneruskan sekolahnya ke SMA Negeri Ternate. “Waktu itu, secara aklamasi, ternan-ternan di SMA Negeri Temate meminta saya menjadi Ketua OSIS,” kenang Iqbal yang lulus dari sekolah menengah tersebut pada tahun 1977. Sebelum terlibat dalam semua aktivitas kemahasiswaan/kepemudaan, Iqbal sesungguhnya sudah menyimpan catatan sejarah yang sangat panjang tentang keterkaitannya di organisasi. Masuk SMP Negeri Ternate tahun1972, ia sudah menjadi Ketua OSIS di SMP tersebut hingga akhimya lulus pada tahun 1974. Bahkan .SMP itu bakat kepemimpinan dan keberanian Iqbal sudah nampak menonjol. Menurut Ismunandar, teman semasa kecilnya, ketika menjadi ketua OSIS itu Iqbal bahkan sempat dipukul pak Lestaluhu, kepala sekolah SMP Negeri Ternate. Pasalnya karena Iqbal, tanpa sepengetahuan para guru, menyuruh seluruh siswa lelaki di sekolah itu memakai celana panjang pada setiap hari Sabtu. “Anehnya teman-teman mau saja,” kata Ismunandar. Keberanian serupa juga terlihat ketika, masih di SMP dulu, Iqbal berani ikut lomba pop singers dan bersaing dengan penyanyi-penyanyi yang sudah terlatih. “Sekalipun dia tak pemah jadi juara, tapi keberaniannya untuk tampil di atas panggung cukup luar biasa,” ujar Ismunandar. Soal keberanian Iqbal bertindak dan mengambil keputusan itu dibenarkan juga oleh.Ismet Al-Hadar. “Begitu ,beraninya Iqbal sampai-sampai dia pernah dipecat sebagai Ketua OSIS SMA Negeri Temate. Soal itu, kata Ismet, diceritakan Iqbal padanya lewat surat. “Dan itulah satu-satunya surat yang pemah ditulis Iqbal untuk saya,” kat a Ismet lagi. Dalam surat itu, kata Ismet, Iqbal menceritakan perlakuan tidak adil Ibu Siti Hawa, Kepala Sekolah SMA Negeri Ternate yang memecatnya sebagai ketua OSIS di SMA tersebut. “Waktu itu saya sudah menetap di Jawa. Dan Iqbal, dalam suratnya mengeluhkan pemecatan itu,” kisah Ismet. Ismet menceritakan, menurut Iqbal pemecatan itu dilakukan karena dia dianggap tidak disiplin dan absen saat sekolah mengadakan acara ‘penting. Padahal, menurut Iqbal, dia tidak bisa mengikuti acara sekolah karena ayahnya, orang yang sangat dihormatinya, meninggal dunia dan dia harus pulang ke Bajo untuk menghadiri pemakamannya. “Pemecatan itu merupakan tindakan sepihak dari kepala sekolahnya,” tulis Iqbal dalam suratnya. Namun Ibu Siti Hawa membantah alasan pemecatan yang dikemukakan Iqbal itu. Menurutnya, sebagai murid yang pintar dan unggul dalam beberapa mata pelajaran, Iqbal pada dasamya memang anak yang baik dan taat pada guru serta orangtua. “Sholatnya juga tidak pemah tinggal,” kata Ibu Siti Hawa. Namun, tambahnya, karena kepintarannya itu Iqbal suka over acting. “Dia selalu merasa paling pintar di antara teman-temannya. Dan karena sifatnya itulah saya memecatnya sebagai Ketua OSIS,” ujar Ibu Siti Hawa. Ia menambahkan, tidak. ada maksud apapun dari pemecatan Iqbal waktu itu. “Sayabermaksud baik. Saya ingin memberikan pembinaan kepadanya agarsifat merasa paling pintar itu tidak terulang lagi di kemudian hari,” kata ibu Siti Hawa. Sebab, tambahnya, pada saatnya nanti Iqbal pastilah akan hidup dan b’ergaul dengan masyarakat lain. “Jadi pemecatan itu saya lakukan untuk memberi pelajaran kepadanya bahwa sifat merasa paling pintar itu tidak baik,” ujar Ibu Siti Hawa. Pria berpenampilan trendy dan selalu tampil tenang ini sepertinya memang ditakdirkan untuk menjadi aktivis. Sejarah panjang keterlibatannya di berbagai organisasi kepemudaan, di kampus maupun di luar kampus, membuktikan hal itu. Komitmennya terhadap dunia kepemudaan di Indonesia dan intensitas pergulatannya dalam berorganisasi, pada akhirnya ikut memperkokoh anggapan itu. Meski terkadang suka meledak-ledak, kiprah Iqbal tetap menjadi fenomena menarik dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat terhadap organisasi kepemudaan di Indonesia. Setidaknya hal itu mulai terlihat ketika dia menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) masa bakti 1988-1991.
...bersambung 3
| |
|