Tulisan ini saya persembahkan bagi generasi muda Masyarakat Jaton, dan simpatisan yang lain, dengan maksud supaya tanah dan Kampung kelahiran orang tuanya jangan dilupakan.
Tulisan ini juga saya sudah presentasikan di Kerukunan Keluarga Kawanua Jabodetabek,di Gedung ASMI Rawamagun pada tanggal 19 Mei 2007, dan mendapat tanggapan positip dari mendapat Aplaus saudara kita Kawanua, dan ternyata mereka baru tau bahwa Masyarakat Jaton adalah bagian dari mereka.
Mudah2an dengan tulisan ini dimasa yang akan datang kehidupan bermasyarakat amtara Jaton & Minahasa terjalin lebih erat.
1. Masuknya Agama Islam di Minahasa , H.Umar Pulukadang (Alm) pegawai Debdikbud Prop Sulut.
2. Sejarah Minahasa : Bert Supit
3. eristiwa 14 Februari 49 :L.E.Releza
4. Dokumentasi RCTI, Film Dokumetar, Kebudayaan
5. Gebyar Ketupat 1427H, 31 Oct 2007, di Jaton
6. Kpg Jawa Tondano, Religion & culural identity. Bablock,Gaja Mada Univ Press
7. Dari Semarang ke Masarang. Ir.Chairu S Pulukadang, Karyawan Pertamina Pusat.
PERANG DIPONEGORO : 1825 – 1830.
Perang Jawa, perang melawan Belanda di Jawa.
Pada sekitar abad ke 18 , penjajah Hidia Belanda dengan melalui perusahaan dagangnya VOC ( Verenigde Oost indische Compagnie ) sedang melebarkan kekuasannya untuk mengelolah dan memiliki perkebunan rakyat terutama rempah rempah dan beras diseluruh Indonesia termasuk di Jawa & Sulawesi – Maluku.
Pangeran Diponegoro
Pada waktu itu di Jawa berdiri satu kerajaan Jawa peninggalan Kerajaan Mataram yakni Kerajaan Jokyakarta ( Sekarang Jokyakarta - tetap) termasuk juga daerah Surakarta ( Solo ) dan diberi nama Kesultanan.
Orang pertama yang menjabat sebagai Sultan adalah Hamengkubuwono I, dan pada masa terjadi perang Diponegoro maka Joyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V.
Penjajah Belanda melihat, karena Jokyakarta pada waktu itu sebagai lumbung beras utama di Jawa, maka harus dikuasai melalui VOC nya, dan terjadilah pematokan persawahan milik rakyat, yang kemudian diklaim sebagai milik pemerintah penjajah Belanda.
Salah satu Pangeran dari kesultanan Jokyakarta pada waktu itu yang bernama Pangeran Diponegoro*) tidak tahan dan emosi melihat rakyatnya diperlakukan demikian oleh Belanda.
Pangeran Diponegoro dengan nama lahir Raden Mas Ontowiryo adalah putra sulung dari sultan Hamengku Buwono III, lahir 11 November 1785.
Emosi Pangeran Diponegoro tak terbendung ketika pematokan dilaksanakan Belanda pada sawah sawah rakyat terlebih lagi melintasi kompleks pekuburan bekas Raja Raja Jawa, yang merupakan makam makam leluhurnya.
Rakyat yang mempergunakan jalan jalan yang ada untuk transportasi perdagangan dibebankan pajak yang tinggi oleh Belanda.
Pada waktu itu sebagai Raja ( Sultan ) Jokyakarta adalah sultan Hamengkubuwono V yang dinobatkan ketika baru berumur 3 tahun, jadi untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh kerabat Keraton HB IV.
Pemeritahan sementara kesultanan ini tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yang sebenarnya terselubung dan berkoloberasi dengan Pemeritahan Kolonial Belanda.
Kyai Mojo
Selanjutnya, Pangeran Diponegoro menyusun rencana untuk melawan penjajahan Belanda.
Beliau mengontak dan mengajak Kyai Mojo ( Ulama Islam) yang sekaligus gurunya dalam bidang spiritual agama Islam, juga sebagai pamannya, yang mempunya banyak pengikut dan disegani, serta , Tumenggung Zees Pajang Mataram, Tumenggung Reksonegoro.
Selain itu juga Pangeran Diponegoro mengajak Sentot Prawirodirdjo,18*), seorang pemuda yang pemberani.
Sentot Prawirodirdjo
Ayahnya bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan HB IV, adalah pembrontak melawan Belanda tapi berhasil dibunuh oleh Daendles.
Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda.
Beberapa saat kemudian pada tahun 1825 berkobarlah Perang Jawa ( Diponegoro ) untuk melawan penjajahan Belanda, dimana perang tersebut sangat sulit diatasi Belanda dan memakan korban yang cukup besar dikedua belah pihak dan sudah berlangsung hampir 5 tahun.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa,sehingga mengakibatkan penyusutan penduduk Jawa pada waktu itu.
*) Sentot Prawirodirdjo berhasil dibujuk Belanda, dan dikirim Belanda dan meletakkan senjata pada tanggal 17 October 1829, dan dikirim Belanda ke Sumatra Selatan untuk melawan pembrontakan para ulama dalam perang”Padri”, kemudian wafat di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.
Jendral De Cock naik pitam oleh karena walaupun dia punya banyak serdadu akan tetapi dia tidak bisa memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mendapat kecaman dari atasannya di Batavia ( Jakarta ).
Suatu saat selagi perang berkecamuk Pangeran Diponegoro terluka tertembus peluru, yang kemudian beliau menunjuk Kyai Mojo sebagai Panglima Perang dan Pangeran Mangkubumi sebagai Komandan Lapangan.
II. PENANGKAPAN KYAI MODJO
Jedral De Kock panasaran, sudah hampir 4 tahun dia tidak berhasil memadamkan pembrontakan Diponegoro!
Untuk menaklukan Diponegoro maka dia lalu menerjunkan intelejennya yang terlatih untuk menganalysa kelemahan Pasukan Diponegoro.
Dari hasil pengamatan intelejennya dan setelah dilakukan analysa yang cermat diambil kesimpulan bahwa kekuatan atau pilar utama Pasukan Diponegoro terletak pada Kiay Modjo yang merupakan wakilnya dan menangkap sebagai Panglima Perang.
Berdasarkan hasil kajian tersebut maka Jendral De Kock harus menaklukkan Kyai Mojo terlebih dahulu dan harus dilumpuhkan, karena dialah sebagai Panglima Perang disamping penasehat Spiritual Diponegro.
De Kock merencanakanakan tipu muslihat untuk menangkap Kyai Mojo melalui undangan kepada Kyai Mojo untuk berunding.
Perundingan dapat dilaksanakan pada tanggal 31 October 1928 di desa Melangi Jokyakarta,tapi perundingan gagal.
Belanda membujuk lagi Kyai Mojo atas inisiatif Gubernur Jeneral Du Bus untuk berunding yang kedua kalinya, ( dalam perundingan ini apabila gagal maka Kyai Mojo harus ditangkap ).
Selanjutnya perundingan yang ke dua kalinya dilaksanakan pada tanggal 12 November 1928, di desa Kembang Arum Jokyakarta, dan gagal lagi.
Ditempat inilah Kyai Mojo dan pasukannya sekitar 500 orang dikepung oleh militer Belanda, yang dipimpin oleh Kolonel Le Bron, kemudian ditangkap dan dilucuti senjatanya.
Du Bus
Apabila hal ini terjadi pada saat sekarang ini, pada zaman modern, maka peristiwa ini adalah suatu kejahatan perang.
Konon khabarnya ( ? ) dalam peristiwa penangkapan Kyai Mojo ini Belanda mendatangkan ke tanah Jawa tentara Belanda Pribumi dari Manado dan Ambon ( baca Minahasa pada abad 18 ), pada halaman 16 buku ini.
Kyai Mojo dengan sangat marah mempertanyakan hal ini kepada Lekol Le Bron, yang kemudian ia menjawab, bahwa hal ini terpaksa dilaksanakan atas perintah atasannya.
Penangkapan Kyai Modjo
Dalam kondisi ini kemudian atas permintaan Kyai Mojo, sebahagian besar pasukannya dibebaskan Belanda, dan hanya kerabat kerabatnya yang ditahan Belanda sebagai tawanan perang.
Raja Belanda Willem 1 mengirim Komisaris General Du Bus de Gisiegnies menggantikan Van der Cappellen ( yang memerintah Hindia Belada ) dengan buruk yang mengakibatnya timbulnya perang Pangeran Diponegoro.
Tugasnya yaitu memulihkan keamanan di Jawa, sehingga VOC dengan aman melakukan transaksi perdangannya.
dibawah ke Semarang disertai residen Jokyakarta waktu itu, Van Dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda akhirnya Kyai Mojo dan rombongan Nes, melalui jalan darat.
Sesampainya di Semarang selanjutnya mereka diangkut dengan kapal Korvet Belanda ke Batavia ( Jakarta ) untuk menemui Gubernur Jedral Du Bus.
III. PENANGKAPAN PANGERAN DIPONEGORO
Dengan ditangkapnya Kyai Mojo, memberikan pukulan sangat berat kepada Pangeran Diponegoro, oleh karena Kyai Mojo merupakan Pilar Utama dalam perang Diponegoro.
Berbulan bulan Du Bus membujuk Kiay Mojo untuk meminta Diponegoro agar mau berunding, dan akhirnya disuatu saat Kiay Mojo mengirim surat ke Diponegoro untuk berunding.
Surat itu diatar 3 orang yaitu kapten Roeps yang fasih bahasa Jawa, Haji Ali & Kiay Hasan Besari ( dengan catatan kemudian setelah dilokasi mereka akan berjuang sendiri lagi ).
Pada waktu bersamaan De Kock berusaha menangkap Diponegoro seperti yang telah dilakukan terhadap Kiay Mojo, agar supaya dia dapat melaporkan ke Raja Willem 1, sehingga dapat mendepak Du Bus ( menggantikannya ).
Penangkapan P.Diponegoro
Mengingat kondisi Pangeran Diponegoro waktu itu dalam keadaan terdesak, Pangeran Diponegoro bersedia berunding.
Perundingan direncanakan di Magelang, gagal karena bulan puasa.
Perundingan berikutnya diadakan di pada tanggal 28 Maret 1830 saat Idhul Fitri.
Perundingan tidak mencapai kesepakatan, dan pada saat itulah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh pasukan Belanda pimpinan de Kock.
Pangeran Diponegoro ditawan, lalu dibawa ke Ungaran Semarang, kemudian ke Batavia.
Pada tanggal 8 April 1830 Pangeran Diponegoro sampai di Batavia dan ditempatkan di Stadhuis, kemudian pada tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongannya diberangkatkan dengan kapal perang Pollux ke Manado.
Di Manado ditempatkan di Benteng Amsterdam selama 4 tahun.
Pangeran Diponegoro oleh Belanda tidak disatukan dengan Kyai Mojo di Tondano karena dianggap Belanda sangat berbahaya, hanya sekali saja sempat bertemu dengan Kyai Mojo.
Oleh karena Belanda menganggap penjagaan di Manado tidak cukup kuat, maka Pangeran Diponegoro dipindahkan di Benteng Rotterdaam Makassar pada tahun 1834, sampai wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 78 tahun.
IV. KYAI MOJO DIASINGKAN KE MINAHASA
Untuk menghindari kemungkinan Kiay Mojo dan rombongan kembali ke Pajang untuk bergabung kembali dengan Pageran Diponegoro, Du Bus telah merencanakan untuk mengasingkan mereka ketempat yang jauh, dan dipilih Minahasa di Ujung Sulawesi, yang pada waktu itu negeri ini belum lama dikuasai Belanda ( 1829 ).
Pemilihan tempat ini juga berdasarkan permintaan dari Residen dari Manado untuk mengirimkan tenaga tenaga ahli di bidang pertanian dari Jawa untuk membuat persawahan dimana hasilnya dapat mengisi uang kas keresidenan yang agak parah pada waktu itu.
Selanjutnya untuk pelaksanaan rencana tersebut, dilaksanakan beberapa tahapan.
Tahap 1.
Dari Kembang Arum Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Semarang.
Pengadilan Tinggi Belanda memutuskan bahwa Kyai Mojo sebagai tahanan politik.
Hasil sidang Pengadilan Tinggi adalah ( surat dari Menteri Negara Komisaris Jendral tanggal 1 Desember 1828 kepada Letnan Gubernur Jendral):
Kyay Mojo dan pengikutnya dipenjara dalam bentuk tahanan rumah.
Ir.Tromp ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan “rumah tahanan” tersebut.
Menyiapkan 25 orang serdadu Ambon secara bergantian menjaga rumah tersebut.
Tahap 2.
Kemudian setelah beberapa lama di Semarang Kyai Mojo diangkut dengan kapal perang Belanda”Mercury” ke Batavia.
Berdasarkan surat Kapten Laut Komandan dan Direktur Kelautan Hindia Belanda kepada Gubernur Jendral tanggal 1 Desember 1828 No.231N/3116K:
Pengurusan Kyai Mojo,dan pengikutnya, ditempatkan di kapal Fregat De Belona dan satu kapal tunggu untuk kemudian dinaikkan ke kapal perang Belanda Mercury, dengan pengawasan militer.
Memperlakukan tawanan dengan baik sesuai perjanjian antara Kepala Hakim dan Komandan Fregat De Belona.
Kapal perang Mercury yang mengangkut tawanan Kyai Mojo dikawal 2 kapal fregat De Belonana dan Anna Paulona.
Tahap 3.
Tanggal 3 Desember 1928 tiba di Batavia.
Sesuai dengan kesepakatan semua pihak, maka tawanan diperlakukan dengan baik serta diperhatikan kebutuhan sehari harinya.
Hal ini perlu dilakukan karena Kyai Mojo masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat.
Karena dianggap berbahaya oleh Belanda maka sewaktu berada di Batavia, tidak ditempatkan di gedung penjara menyatu dengan dengan tahanan biasa, tapi ditempatkan di “kantor baru” sebagai tahanan rumah.
Dikemudian hari ternyata tempat ini, adalah tempat menunggu untuk pengasingan terakhir ke Minahasa.
Oleh karena tahanan politik ini sangat istimewa maka semua kebutuhan hidup sehari hari Kyai Mojo dan pengikutnya ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda dengan biaya yang cukup mahal pada waktu itu.
Sebagai pemasok kebutuhan tersebut adalah Kapten Cina bernama Jap Soan Kho.
Adapun biaya tersebut sesuai laporan sekertaris penjara tanggal 3 Desember 1828 adalah:
1. Daging ayakm, ikan, daging sapi F 23
2. Sayur sayuran 5
3. 6 botol minyak kelapa 3
4. Macam macam bumbu sayur 4
5. Buah buahan 5
6. ¼ canting garam 0,183/4
7. 9 roti 2
8. 3 pon mentega 2
9. ½ keju 1,25
10. Kue kue pribumi 8
11. ½ canting kopi 1
12. Gula 2
13. The 1
14. 10 canting nasi 2,50
15. ½ ikat kayu bakar 5
16. Sirih, pinang,kapur sirih 2,5
17. 5 botol minyak lampu 2,5
Jumlah F 73,4 33/4
Selain itu ada lagi kebutuhan biaya sebesar F492, untuk pengadaan pakaian Kyai Mojo dan pengikutnya,
Selama berada di Batavia Belanda sudah menghabiskan biaya total F3051,15 yang ditanggung pemerintah kolonial Belanda sebagai biaya perang.
Tahap 4. ...bersambung