Pengantar
Perpres Stabilisasi Pangan yang baru dikeluarkan oleh pemerintah, dinilai berbagai kalangan sebagai langkah yang memundurkan gerakan ketahanan pangan nasional. Sebab, Perpres yang hanya ampuh menekan harga 3-6 bulan tersebut, jelas-jelas menimbulkan penyakit baru bagi petani kecil. Para petani gurem itu, dipaksa bersaing dengan kekuatan global, juga dengan para petani di negara-negara kuat yang selalu diproteksi oleh pemerintah masing-masing. Justru yang memetik keuntungan lewat kebijakan berbiaya hampir Rp 14 triliun itu, adalah importir dan produsen luar negeri. Wartawan SP, Setia Lesmana mengulasnya dalam tulisan ini.
Dok SP - Beras Impor
Negeri ini ibarat sedang sakit demam akibat krisis harga pangan yang mengharu-biru kehidupan rakyat, yang terus merosot daya belinya. Dalam kondisi seperti itu, seharusnya pil pahit antidemam yang diminum sebagai obat penyembuh demam, bukan sirup pelepas dahaga penghilang rasa haus sesaat. Alih-alih hilang rasa haus itu, malah si penderita demam kian didera rasa haus.
Gambaran tersebut, dihadirkan untuk menyoroti langkah dan kebijakan pemerintah tatkala menghadapi krisis harga pangan. Melambungnya sejumlah komoditas pangan, seperti kedelai, terigu, minyak goreng, dan beras, dijawab dengan langkah panik menelurkan kebijakan fiskal dan moneter dengan visi jangka pendek. Alih-alih menurunkan harga, hingga 10 hari pascakebijakan itu dikelurkan, harga-harga tetap saja tinggi dan memberatkan rakyat.
Kebijakan berbiaya hampir Rp 14 triliun itu, jelas-jelas hanya menguntungkan importir dan produsen luar negeri. Petani sendiri dalam negeri, dipaksa bertarung dengan kekuatan global, yang siap menggelontorkan produk-produk mereka ke Indonesia.
Seperti dikatakan Ketua Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, Perpres Stabilisasi Pangan tidak pro petani dan hanya menguntungkan importir. Selain itu, pemerintah telah menyubsidi petani asing.
Cara-cara pemerintah dalam menurunkan harga akan berdampak pada semakin rapuhnya kemandirian pangan. Pemerintah dengan kebijakan fiskal dan moneternya, berpotensi kian membuat petani tambah miskin.
Lebih jauh Saragih menuding isi materi Perpres Stabilisasi Pangan menunjukkan dominasi atau kemenangan kelompok menteri pro pasar bebas atas kelompok menteri pro petani. Perpres yang didominasi kebijakan fiskal dan moneter, yang lebih memihak kepentingan importir, menunjukkan pemerintah tidak memihak kepentingan petani dan pembangunan pertanian.
Di saat banyak negara besar, seperti Amerika Serikat, melindungi petaninya dengan berbagai insentif, Pemerintah RI justru kian memudahkan jalan bagi masuknya produk pangan impor. "Dari total dana Rp 13,7 triliun yang dialokasikan untuk stabilisasi pangan, hanya Rp 1 triliun yang dialokasikan untuk membantu petani," ujar Saragih baru-baru ini.
Itu pun menurut Saragih tidak jelas komitmen realisasinya. Kondisi tersebut, sangat menyedihkan dan bisa berakibat makin rapuhnya kemandirian pangan akibat banjirnya pangan impor.
Kekecewaan juga diungkapkan pelaku usaha pertanian. Sekretaris Asosiasi Petani Padi, Palawija, dan Hortikultura Indonesia (AP3HI) Arum Sabil mengatakan, pihaknya menolak keras pelaku bisnis yang meminta pemerintah menurunkan bea masuk impor bahan pangan. Hal itu akan mengakibatkan nilai jual produk petani menjadi tidak kompetitif.
"Kami menuntut agar Perpres direvisi total dan diisi oleh kebijakan yang pro petani dan pembangunan pertanian dalam negeri. Segera ganti kebijakan yang menyubsidi petani asing," ujar Arum.
Lebih lanjut Arum mengatakan, jika Perpres tidak direvisi, semangat petani untuk menanam padi dan bahan pangan lain akan merosot. Petani akan menjual tanahnya dan beralih pekerjaan.
Krisis pangan diperkirakan akan menjadi-jadi. Jumlah pengangguran pun akan meningkat tajam, mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani. Ketergantungan pada ekspor juga akan memukul rakyat, karena membuka peluang negara produsen memonopoli harga.
"Dampaknya, program menciptakan ketahanan pangan nasional, yang digagas pemerintah selama ini, akan jadi sia-sia, kalau ternyata banyak produk pangan impor masuk pasar Indonesia tanpa terkendali," kata Arum.
Dok SP - Petani menaburkan pupuk di lahan persawahan
Kecaman
Namun, akhir pekan lalu, pemerintah lewat Menko Perekonomian, Boediono buru-buru membantah tudingan sejumlah pihak bahwa pemerintah tidak memihak petani. Menurut Boediono, pemerintah sudah memberikan subsidi sangat besar untuk petani.
Subsidi untuk pupuk, benih, dan pengamanan harga di tingkat petani besarnya mencapai Rp 19 triliun. Boediono mencontohkan pengadaan beras miskin (raskin) sebagai bentuk lain dari pengamanan harga beras di tingkat petani oleh Bulog.
Namun, kecaman terhadap pemerintah tak juga surut. Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia (WAMTI), Agusdin Pulungan mengecam pemerintah karena hanya menempatkan petani sebagai alat produksi. Seharusnya, mengatasi mahalnya harga pangan diatasi dengan meningkatkan daya beli masyarakat dan mempercepat produksi.
Paket kebijakan kreasi pemerintah, hanya membuat kemandirian pangan semakin rapuh dan memiskinkan petani. Padahal, dengan mensejahterakan petani, pemerintah bisa menurunkan angka kemiskinan lebih dari separuhnya.
Sementara itu, ahli ekonomi pertanian Universitas Bengkulu, Dr Andi Irawan menilai, paket kebijakan yang membuka lebar pintu impor tersebut, akan semakin menekan harga produk petani, sehingga mereka merasa tidak mendapat keuntungan ekonomis dari lahan pertanian yang dimilikinya.
Dampak lanjutannya, terjadi ancaman penjualan lahan-lahan pertanian hingga lebih dari 150.000 hektare, karena dianggap usaha tani tak lagi menguntungkan.
Sedangkan jumlah petani yang meninggalkan profesinya juga meningkat, namun belum ada angka pastinya. "Pemerintah secara sadar mengambil pilihan kebijakan yang justru menjadi disinsentif bagi petani. Pemerintah memilih jalan impor pangan yang terbukti telah membuat bangsa ini terpuruk," ujar Andi.
Untuk mencukupi kebutuhan, petani terpaksa menjadi buruh di luar pertanian. Karena itu, Andi mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan kemandirian dan ketahanan pangan secara jangka panjang.
Petani, sebagai pelaku ekonomi di sektor produksi, harus menjadi bagian penting dari upaya membangun ketahanan pangan. Pemerintah juga seharusnya fokus pada upaya meningkatkan daya beli masyarakat, antara lain merealisasikan penciptaan lapangan kerja dan pemberantasan kemiskinan.
Jangan sampai, kebijakan pangan hanya menjadi retorika menjelang Pemilu 2009 saja. Semoga saja tidak! *