rosian rosian
Jumlah posting : 49 Join date : 22.01.08 Age : 75 Lokasi : Jakarta
| Subyek: Pengikut Kiai Mojo yang Bangga Sebut Torang Tondano Mon Feb 11 2008, 00:16 | |
| Jumat, 21 September 2007 Catatan :STENLY KOWAAS, Pengikut Kiai Mojo yang Bangga Sebut Torang TondanoRamadan di Tengah Toleransi Warga Muslim-Nonmuslim Nusantara Manado,- Kampung Jawa Tondano satu-satunya kelurahan di Tanah Minahasa (Sulawesi Utara) dengan penduduk yang hampir semuanya beragama Islam. Warganya punya hubungan dengan para bekas pejuang Pangeran Diponegoro.
Catatan STENLY KOWAAS, Manado
KAMPUNG Jaton –nama singkatan Jawa Tondano– letaknya sekitar 37 kilometer dari Kota Manado. Berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, malam hari di daerah ini terasa dingin menggigil.
”Kumura, maleos-leoskan (Bagaimana kabar, apakah kamu baik-baik?),” kata Suryanto Mertosono menyambut kedatangan Manado Pos (Grup Jawa Pos). Nama warga Jaton itu masih kental nuansa Jawanya. Tapi, sejak lahir Suryanto dan warga Jaton lainnya adalah petutur bahasa Toulour.
Dialek dan penggunaan kata-kata yang lancar menggambarkan bahwa warga Jaton sangat menguasai bahasa Toulour. Suku Toulour adalah salah satu etnis di Kabupaten Minahasa. Lebih dari 170 tahun lalu wilayah tersebut dijadikan ”tempat pengasingan” Kiai Mojo, penasihat spiritual Pangeran Diponegoro, dan para pengikutnya.
Dalam bahasa keseharian, warga Jaton memang kadang menggunakan satu dua kosa kata bahasa Jawa. Tapi, sering bahasa Jawa itu tercampur dengan bahasa setempat.
Prinsip membaur dan perilaku layaknya orang Tondano membuat warga kelurahan berpenduduk 1.829 jiwa itu seperti orang Tondano asli. Termasuk saat menjalankan ibadah puasa Ramadan saat ini, mereka hidup rukun dengan warga desa lain. Padahal, mereka komunitas kecil di antara lingkaran umat kristiani di sana.
”Semua berjalan seperti biasa. Malah, kalau tiba saat berbuka puasa tiba, ada teman-teman Kristen yang datang bergabung sambil mengobrol,” kata tokoh masyarakat Jaton yang lain, Dr Ani Suronoto.
Sudah memasuki generasi kedelapan, masyarakat Kelurahan Jaton seperti keluarga besar warga Toar Lumimuut, sebutan lain untuk tanah Minahasa. Malah, perayaan hari raya Ketupat (sepekan setelah Lebaran, tradisi yang mereka bawa dari Jawa) di Jaton, kerap ”dipelesetkan” sebagai Hari Pengucapan Syukur dalam tradisi Kristen ala Jaton.
Pada saat itulah, banyak umat Kristen ikut tumpah ruah di Jaton. Mereka saling bertamu, bersilaturahmi, sambil makan ketupat yang disajikan tuan rumah. Pada saat seperti itu, di antara mereka seperti tidak ada jarak. ”Perbedaan keyakinan itu tidak mengganggu keakraban,” katanya.
Kampung Jaton menunjukkan eksistensinya sejak 1831, ketika KH Muhammad Ghazali Mojo dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda di wilayah Tondano. Di dekat kampung yang kini masuk Kecamatan Tondano Utara itu juga berdiri markas Persmin Minahasa, salah satu klub sepak bola yang saat ini menjadi kontestan Divisi Utama Liga Indonesia.
Generasi Kiai Mojo, kata Suryanto, kini memasuki generasi ke-8 atau bahkan ke-9. Konflik horizontal berbau SARA yang terjadi di Ambon, Ternate, dan Poso beberapa tahun lalu tidak menggoyahkan keharmonisan hubungan antarwarga di sana.
”Torang orang Minahasa. Bukan laeng-laeng (Kami ini orang Minahasa, bukan orang lain),’’ kata Suryanto yang juga diamini sejumlah warga Jaton.
Pada bulan suci ini, warga Jaton melaksanakan aktivitas seperti umumnya warga muslim di tanah air. Mereka meramaikan masjid dengan buka puasa serta salat tarawih di malam hari. Seperti kebiasaan yang mereka dari Jawa, sebelum memasuki bulan puasa, warga Jaton juga menjalani rutinitas yang mereka sebut ”punggoan” atau ”nyekar” ke makam Kiai Mojo yang ada di kampung itu.
Saat dibuang Belanda dari Jawa ke Tondano (karena dianggap membahayakan Belanda), kiai yang berasal dari Mojo, Solo, Jawa Tengah, itu juga membawa 63 pejuang (semuanya pria) yang berasal dari Jogjakarta, Solo, Demak, Cirebon, dan kota-kota lain di Jawa. Mereka adalah para laskar yang setia dengan kiai yang juga paman Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa 1825–1830.
Sebelum ke Tondano, Kiai Mojo dan para pengikutnya tiba di kawasan Kema, Minahasa Utara. Mereka kemudian melanjutkan ke tempat pengasingan di Minahasa dan membangun Kampung Jaton. Belakangan, wilayah itu juga menjadi tempat pembuangan para pejuang kemerdekaan dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Aceh, Padang, Palembang, Sumatera Selatan, Banjarmasin, dan Saparua ( Maluku).
Selama dalam pengasingan, para pengikut Kiai Mojo menikahi para wanita suku Minahasa. Mereka antara lain dari keluarga Karinda, Tombokan, Supit, Sahelangi, Rondonuwu, Ratulangi, Tombuku, Tumbelaka, Malonda, Kotambunan, hingga Rumbayan.
Selain Kiai Mojo dari Jawa Tengah, kiai besar yang dihormati di Kampung Jaton adalah Kiai Hasan Maolani. Kiai asal Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, itu juga pejuang yang dibuang dan dimakamkan di sana. Kiai besar yang oleh masyarakat Kuningan sekarang disebut ”Eyang Menado” itu dulu juga mengobarkan perang melawan Belanda di daerahnya.
Kiai Hasan ditangkap pada 1837 atau tujuh tahun setelah Perang Diponegoro berakhir. Pada mulanya dia dibawa ke Ternate. Dari sana, dibawa lagi ke Kema. Seratus hari kemudian, dia dipindahkan ke Kampung Jaton, tinggal bersama pasukan Kiai Mojo.
Selama di pengasingan, Kiai Hasan tidak tinggal diam. Di kampung orang Jawa ini dia mengajar bekas pasukan Kiai Mojo mendalami agama Islam. Lama-kelamaan, makin banyak muridnya, termasuk warga sekitar yang diislamkan. Di tempat itu pula Kiai Hasan membuka pesantren yang dikenal sebagai Pesantren Rama Kiai Lengkong.
Hingga saat ini masih ada warga Kuningan yang menziarahi makam Kiai Hasan yang terkenal dengan sebutan Eyang Menado (meski tempatnya di Tondano). Makamnya terletak satu kompleks dengan Kiai Mojo di Kampung Jaton.
Di Jaton juga terdapat masjid tua (didirikan pada 1854) yang menjadi simbol kekhasan kampung tersebut. Masjid itu sempat beberapa kali direnovasi, yaitu pada 1974, 1981, dan terakhir pada 1994. Masjid itu diberi nama Masjid Al-Falah Kiai Mojo.
Masjid tersebut memiliki keunikan. Gaya arsitekturnya mirip Masjid Agung Demak, Jawa Tengah, yang mempunyai empat soko guru. Tinggi masing-masing 18 meter dari kayu asli. Juga terdapat mimbar bertuliskan ayat-ayat suci Alquran yang diukir dengan tangan para kiai. ”Ini tidak bisa dijumpai di masjid-masjid lain di Sulawesi Utara,” kata Suryanto. (*) | |
|