Admin Admin
Jumlah posting : 257 Join date : 22.01.08
| Subyek: Runtuhnya Loyalitas Kiai Pesantren! Tue Jul 01 2008, 18:55 | |
| Runtuhnya Loyalitas Kiai Pesantren! 01 Jul 2008 - 2:30 am oleh Nasrulloh Afandi Akhir-akhir ini, para kiai pengasuh pondok pesantren --selanjutnya disebut kiai pesantren--, tidak lagi menyatu dengan masyarakat, “sengaja” jaga jarak, tidak mau tau terhadap aktivitas keagamaan masyarakat sekitarnya(di luar pesantren), terlena dengan institusi pesantren yang "dikuasainya" saja.
Resikonya, kiai pesantren bukan lagi dari dan untuk(tumpuan pokok) masyarakat, terang-terangan “mencampakkan” loyalitas bermasyarakat. Apalagi kiai pesantren yang "membelenggu diri" dengan struktural ormas keagamaan/parpol tertentu(meskipun belum jadi pejabat) ''mendewakan" organisasi/parpol yang hanya menguntungkan pribadi atau maksimal golongannya saja.
Muslimin "pedesaan" sejak lama sangat merindukan "belaian" para kiai pesantren, sang kiai perlu (kembali) ikhlas mengabdi, bukan saja religiusitas "di lapangan ibadah", tetapi juga mesti jadi teladan konteks interaksi sosial bermasyarakat dan beberapa aspek kehidupan lainnya.
Minimalnya (para kiai) mesti "ikhlas" mendekat, sebagaimana ketika para kiai(pesantren) mendekati rakyat(pedesaan) dalam moment- moment politis, mensukseskan figur tertentu dengan berbagai kepentingan sempitnya itu. Cukup adil!
Stop, Jaga Jarak! Sangat banyak fenomena dan problem keaagamaan ganas melanda, yang semestinya menjadi "surat undangan resmi" menggugah "nurani religiusitas" para kiai pesantren untuk segera kembali "turun gunung", merapat kepada masyarakat sekitarnya. Untuk estafet upaya menyelamatkan masyarakat dari maraknya ajaran-ajaran, gerakan pemikiran-pemikiran dan berbagai aliran aneh(yang sebatas mengaku Islam) akhir-akhir ini.
(Padahal) bebarengan dengan itu, para kiai pesantren sedikitpun tidak akan mengikhlaskan munculnya jutaan ''kiai instant" alias kiai karbitan dengan keroposnya fondasi keilmuan dan demi kepentingan sempitnya, lancang menggarap Masyarakat yang lapar ''menu instant" ibadah itu, "membajak proyek" para kiai asli.
Apalagi maraknya "kiai instant" nyata-nyata hanya bermodal nampang di berbagai media meski banyak yang mendirikan pesantren akhir-akhir ini, selain merapuhkan "taring" para kiai di hadapan komunitas berpendidikan agama, mengkomersilkan agama, juga jelas sangat menjauhi "jantung kota lapangan ibadah" masyarakat, sekaligus dominan berkampanye (agar "kiai" berebut nampang di media) muaranya “berebut” menjauhkan diri dari Muslimin pedesaan.
Apakah para kiai lupa, bahwa loyalitas dengan masyarakat sekitar tempat tinggalnya, adalah identitas pengabdian para kiai?
Ataukah sengaja melupakan, bahwa ''Embrio'' kiai (dan pesantren) tumbuh berasal dari estafeta "ayunan" aktifitas masyarakat sekitarnya. Orisinilitasnya, ia lahir dan dibesarkan sekaligus alamiah (tanpa meminta, tanpa adanya unsur intervensi dan rekayasa) dijadikan figur panutan oleh masyarakat sekitarnya!?
Bukankah kiai/pesantren pun akan bubar atau tidak akan terwujud sama sekali bila tanpa kepercayaan (terutama) berawal dari "aspirasi rakyat" sekitarnya. Masihkah para kiai pesantren punya nurani atas "jasa besar" masyarakat di sekitar lingkungannya itu?
Data Keangkuhan Syah-syah saja jika para kiai (pesantren) ingin "jaga jarak" dengan masyarakat, selagi masih dalam batasan-batasan tertentu. Setidaknya perspektif tasawwuf untuk menjaga muru'ah (kharisma) sang kiai di mata publik. Para ahli etika kemasyarakatan mendefiniskan: tawadzu' (rendah hati) adalah menempatkan manusia sesuai posisi/kafabilitasnya, tidak boleh merendahkan orang terhormat, atau sebaliknya.
Skandal yang kronis menjangkit, sedikitnya adalah : Pertama. masyarakat sangat susah hanya sekedar untuk ketemu kiai --apalagi para kiai (pesantren) praktisi ormas keagamaan-- kian angkuh, berlomba saling mengagungkan diri(mu'adzom nafsah), dari sikapnya seolah-olah tegas menyatakan:"Biarlah para 'kiai kampung' saja yang mengurusi konteks ibadah masyarakat pedesaan". (Dari sikapnya) terkesan beranggapan; "Derajatnya menjadi turun", bila berkomunikasi dengan Muslim komunitas pedesaan.
Semangat menghadiri forum pengajian di berbagai hotel berbintang laksana para "tokoh nasional", selalu saja menjauhi pengajian di masjid-masjid pedesaan. Masyarakat pun harus menunggu cukup lama di ruang tamu (bila bertamu kepada) kiai, identiknya menghadap pejabat tinggi. Bahkan sering sang kiai pesantren tidak berkenan menemui, karena tamunya dianggap ''tidak berkelas''.
Kedua: Kerap "menindas" dan (karena) memandang sebelah mata kepada para "kiai kampung". Semua kiai kampung dianggapnya "orang pinggiran" dan wajib menundukkan kepala di hadapan kiai pesantren.
Mereka tidak sportif mengakui; sangat banyak "kiai kampung" kualitas ilmiahnya lebih bagus dan sangat banyak "kiai kampung" jaringannya melebihi kiai pesantren, punya hubungan baik dengan para tokoh Nasioal (di luar pesantren) Padahal banyak kiai pesantren hanya mendapat warisan (mendadak) menjadi pengasuh (pesantren besar sekalipun) meski kualitas ilmiahnya sering tidak jelas. Dalam sportifitas keilmuan, mestinya kiai pesantren "kelas ini" tidak patut menghujat para kiai karbitan yang marak di media itu.
Ketiga: Tak ubahnya pembodohan terhadap masyarakat secara terselubung."Sang kiai" kian egoisme berlebihan, memelihara "status quo" berpandangan kurang berkemajuan, ia kerap sensitif bila ada masyarakat diasumsikan kurang menghormatinya.
Di benaknya ia (memaksa) harus "disucikan", selalu ingin memperoleh penghargaan lebih dari masyarakat, seperti dicium tangannya dan lainnya. Sedangkan sikap "sang kiai" yang sudah sangat jauh dari masyarakat, tidak pernah (dirinya) berintrospeksi.
Keempat; Lupa introspeksi diri, merasa paling “suci". Sesama komunitas kiai pun kian jaga jarak, egonya ingin selalu di-sowani (dikunjungi) antar kiai-pun sering saling menggunjing, kiai "A" menggunjing kiai "B" dan sebaliknya, tanpa malu gunjingan dijadikan ''hidangan'' untuk para tamunya tak terkecuali masyarakat awam pun turut "dihidangi".
Selain faktor "berebut pengaruh", paling marak karena antara satu dengan lainnya mengklaim dirinya masing-masing punya nilai lebih.
Kelima: Banyak kiai pesantren, tidak malu, berteriak-teriak menyalahkan orang lain, bila ada masyarakat atau tempat ibadah "diover alih" bimbingan ibadahnya, oleh figur dari ormas keagamaan lain golongannya, padahal sang kiai itulah yang lebih dulu menjauhi masyarakat.
Contoh keangkuhannya; hanya (kiai) se-kelas "lurah" bergaya (jaga jarak dengan masyarakat) meniru kiai "sekelas" Camat, kiai se-kelas camat "protokolernya" meniru kiai "sekelas" bupati, dan seterusnya.
Termasuk banyak "kiai" (bertanda petik) sesama kawan bekas satu almamater pendidikan pesantren (institusi religius) pun kerap jaga jarak, karena menganggap pribadinya sudah jadi "kiai". Sesama orang-orang bekas satu almamaternya masih tinggi ukhuwahnya lulusan lembaga pendidikan non-pesantren.
Keenam: Gengsinya kian menjadi-jadi. Diantarnya, dengan tidak memperhatikan aktivitas (ibadah) masyarakat sekitarnya itu, belakangan ini, marak para kiai pesantren jalan-jalan ke luar negeri tak ubahnya pejabat negara, ngakunya "studi bunding''.
Kesannya seperti ''kiai mendunia'', padahal sering tidak jelas tujuannya, rekreasi, (harus merogo isi kantong) pribadi, tak jarang menggunakan uang kas "koperasi" pesantrennya.
Ketujuh. Banyak terjadi, para kiai pesantren pun jauh dari pembangunan ekonomi, tidak peduli dengan perekonomian masyarakat.
Contohnya saja, terjadi di banyak pesantren, perekonomian masyarakat sekitarnya pun kerap "dihambat", masyarakat dipaksa dilarang hanya sekedar membuka warung berjualan kepada para santri, dimonopoli oleh warung-warung kiai se-keluarga. Tampaknya lupa, bahwa para santri pesantren adalah mayoritas dari berbagai lapisan masyarakat. Alih-alih kiai membantu, masyarakat malah dikebiri.
Kedelapan. (Yang paling) menggelikan, di sebagian daerah, banyak pula figur kiai pedesaan(di luar pesantren) atau hanya kiai pesantren sangat kecil, beramai-ramai turut "berpartisipasi" jaga jarak dengan warga sekitar, meniru "protokoler" para kiai pesantren. Selain maraknya kiai bersekretaris pribadi (meski kadang) belum kelasnya, bisa jadi para kiai pun "nafsunya" bergemuruh ingin menyewa pasukan berseragam untuk pengawal "dinasnya" layaknya para pejabat tinggi, --biar "disegani" rakyat-- namun "kasihannya" terbentur beberapa hal.
Berwibawahkah? Mungkin asumsinya, dengan berbagai sikap jaga jarak itu “harga jualnya” meningkat di mata masyarakat, benarkah?
Dengan semakin meningkatnya pendidikan masyarakat, bersikap "jaga jarak", selain mencampakkan substansi akhlak, menyempitkan gerak (peran)nya komunitas kiai di tengah kehidupan masyarakat, juga hanyalah memudarkan kharisma ke-kiai-an itu sendiri, di mata komunitas berpendidikan khususunya, masyarakat pada umumnya. Kecuali di mata sedikit orang sangat polos atau yang terjebak fanatis (ta'ashub) "mengkramatkan" nenek-moyang, keluarga sang kiai tersebut.
Alhasil, kredibilitas akhlak ke-kiai-an kian buram. Tanggung jawab (kesalihan) sosial orang-orang yang menganggap bahkan sering memproklamirkan dirinya sebagai kiai atau Ulama (pewaris para Nabi) itu, sangat tidak jelas. Masih patutkah mereka memposisikan dirinya di kelas itu?
Bukankah Nabi SAW, sebagai manusia paling sempurna pun ikhlas memposisikan semua ummatnya dari hamba-sampai raja adalah sama. Justeru diantara (modal) penyebab banyak orang simpati, karena Nabi SAW rendah hati, sangat dekat dengan berbagai kelas manusia ''bawahannya''.
Para “kiai”, apakah tidak malu atas rendah hati Nabi Muhammad SAW?
Nasrulloh Afandi Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, sedang studi di Maroko. gusgaul@yahoo.com | |
|