|
| Untold History of Pangeran Diponegoro (1) | |
| | Pengirim | Message |
---|
Admin Admin
Jumlah posting : 257 Join date : 22.01.08
| Subyek: Untold History of Pangeran Diponegoro (1) Thu Jan 10 2013, 22:12 | |
| Untold History of Pangeran Diponegoro (1) Sumber : www.eramuslim.com CATATAN PENULIS***) Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.
Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.
Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… []
Dengan penuh hormat dan kebanggaan,
kupersembahkan kepada anak keturunan
dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,
semoga kemuliaan perjuangan Beliau
menginspirasi hidup kita semua…
PROLOG
Plered, Jawa Tengah, 1647
APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.
Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.
Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.
Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.
Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.
Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.
Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.
“Allahu Akbar!!!”
Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.
Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.
“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”
Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.
Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?
“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”
Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.
“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.
“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.
“Dia benar. Tak ada lagi orang…”
Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.
Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.
Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.
Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.
Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.
Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.
“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.”
“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa.”
Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)
***) Para netters tercinta…Dengan sengaja redaksi tampilkan kembali seri novel Untold History of Pangeran Diponegoro, karena pada tampilan yang lalu kami masih gunakan frame work temporary yang kurang optimal dan baik. Dengan sistem IT kami yang hampir stabil, mohon maaf kami masukkan kembali serial tersebut agar kisah novel ini dapat dinikmati oleh lebih banyak netters..semoga saja kisah ini banyak diambil ibrah untuk tingkatkan keimanan, terimakasih…Redaksi Bersambung.... | |
| | | Admin Admin
Jumlah posting : 257 Join date : 22.01.08
| Subyek: Re: Untold History of Pangeran Diponegoro (1) Thu Jan 10 2013, 22:25 | |
| Untold History of Pangeran Diponegoro (2)
Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.
Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di antaranya adalah:
Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.
Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.
Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.
Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.
Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para prajurit.
Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.
Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.
Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.
“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.
Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.
Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.
Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan larangan.
Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut, sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.
Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.
Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan pengawal khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu saja harus cantik.
“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu. “…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”
Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur alun-alun.
Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup, sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.
Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan membuka jalan. Di bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.
Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam benaknya ketika itu.
Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap dengan senjatanya. (bersambung) | |
| | | Admin Admin
Jumlah posting : 257 Join date : 22.01.08
| Subyek: Re: Untold History of Pangeran Diponegoro (1) Fri Jan 11 2013, 20:45 | |
| “Habisi !!!” teriak para komandan regu dengan suara yang menggelegar.
Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan, bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang sanggup menghentikan kegilaan yang tengah dipertontonkan pasukan Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama Islam.
Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa pun.
Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.
Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah. Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai setengah jam!
Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.
Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium di mana-mana.
Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.
Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.
Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.
Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan tubuhnya disebabkan mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut kemana air membawanya.
Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan. Semua kejadian malam itu menguras seluruh tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan. Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun. Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton Plered.
Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika siuman, matahari sudah berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.
Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya. Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu. Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas rerumputan, dinaungi pohon beringin besar yang ada didekatnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan kepala ditutupi caping yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke arah barat… []
Bab 1
178 tahun kemudian…
Gua Selarong, Yogyakarta, 1825
NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya itu.
Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas tanah.
Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana. Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.
Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu berteriak histeris.
Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan dusunnya.
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!
Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.
Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya memerintahkan kepala pasukan setempat untuk merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi, akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.
Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka. Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda, ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.
Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.
Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.
Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!
Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan dendam.
Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus. Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro, hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.
Inilah jalanku!
Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus. Salah satunya membawa obor di tangannya.
“Berhenti!” teriak mereka.
“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.
Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat dirinya kuat dan berani.
“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala, bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang mahluknya sangatlah lemah…”
Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang pedangnya, “Ternyata kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu yang kau bunuh!”
Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini anakku! Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti Kanjeng Pangeran!”
Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.
“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!”
“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena pukulan itu.
Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur sesaat, namun mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan. Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.
“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”
Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu menoleh ke arah datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu, lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya. (Bersambung) | |
| | | Admin Admin
Jumlah posting : 257 Join date : 22.01.08
| Subyek: Re: Untold History of Pangeran Diponegoro (1) Fri Jan 11 2013, 20:47 | |
| Ketika melihat K i Singalodra yang berkuda sambil menggendong seorang bocah yang berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut, “Assalamu’alaikummusalam warahmatullahi wabarakatuh, wahai Singalodra. Apa gerangan yang membawamu ke sini! Anak siapa yang kau bawa itu?”
Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang tadinya panas mendadak sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.
“Wa’alaikumusalam… Aku ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti Pangeran, wahai Ki Guntur Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh Belanda tadi malam, juga isteriku… Izinkan aku menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”
Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan pada tamunya.
“Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai di atas sana…”
“Terima kasih, Ki Guntur…”
Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan kembali memacu kudanya, namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di depan. Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di kiri kanan dan belakangnya. Mereka beriringan melintasi jalan utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong yang berada di bawah sebuah bukit batu yang besar.
Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan mereka terbentang batu karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur Wisesa memberi aba-aba dengan sebelah tangannya yang diangkat ke atas.
“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki ke atas sana.”
Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda dan menambatkannya pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil masih menggendong Surya Mandriga.
“Mari Kisanak, ikut aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki Singalodra dan menawarkan diri untuk membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki Singalodra menolaknya.
“Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.”
Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari terlebih dahulu ke atas untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro. Anak buah itu segera berlari ke atas.
“Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak…,” ujar Ki Guntur.
Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan tegap di ujung bawah susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di atasnya.
Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak berlompatan menuruni anak tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki Singalodra.
“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….”
Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke samping, memberi jalan kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai Kijang Kencana menaiki tangga batu yang cukup curam. Hanya dengan beberapa kali hentakan loncatan, badan mereka sudah melambung ke atas dengan cepat. Keempat prajurit muda yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. Mereka segera menyusul kedua orang itu dengan berlari menaiki tangga.
Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran Diponegoro. Ustadz Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei[1], Ki Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya yang seluruhnya berpakaian putih-putih tampak mendampinginya.
Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di pinggang, ada pula yang memegang pedang.
Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya, sambil terus memeluk jasad anaknya, Ki Singalodra segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki dengan janggut dan cambang yang lebat ini berkata pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….”
Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran Diponegoro yang mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut yang menutupi sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Ki Singalodra… Semoga Allah Subhana wa ta’ala selalu melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak…”
Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat berwibawa itu. Entah mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu getaran yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra tidak berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak menjawab apa pun. Bibirnya yang juga bergetar bagaikan terkunci rapat.
“Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama. Semua manusia itu sederajat. Yang membedakan di antara manusia bukanlah keturunan, pangkat, atau jabatan, melainkan ketakwaannya kepada Allah subhana wa ta’ala…,” ujar Diponegoro lagi.
Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan berdiri. Tangannya tetap memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani menatap langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat ke bawah.
“Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?”
“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin bergabung dengan Kanjeng Gusti Pangeran…”
Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di samping Diponegoro membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya kita urus dahulu jenazah anak itu…”
Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya untuk mengurus jenazah anak dari Ki Singalodra itu.
“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih dahulu dengan baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah dengan layak. Serahkan saja pada kita…”
Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati dan berlinang airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang segera menyambutnya.
Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali, “Nah, apakah seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum kafir Belanda dari negeri ini?”
Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya bersungguh-sungguh.”
“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?”
“Melawan Belanda…?”
“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.”
“Thagut…?”
“Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan benar apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk itu, jika tidak keberatan, Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini masih selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita sama-sama belajar mendalami ilmu, karena itu adalah perintah agama.”
“Berperang di dalam Islam..?”
“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan diterangkan oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi…”
Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu saja.
Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “…semua yang ada disini harus memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya sekarang. Bagaimana?”
Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik Kanjeng Gusti Pangeran, saya bersedia.”
“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”
Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan perlahan namun jelas, Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri mematung. Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua tangannya memegang kedua bahu lelaki itu. Kemudian dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang diikuti kata demi kata oleh Ki Singalodra.
“Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu... Saya bersaksi, tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul utusan Allah…”
Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika mendengar namanya saja orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki Singalodra cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah selesai, semuanya mengucapkan syukur.
“Alhamdulillahi Rabb al’Amien…“
Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra dengan hangat. Bagai pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada kecanggungan tampak di sana. Diponegoro, sang putera Sultan Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab dan hangat memeluk erat seorang jagoan yang tangannya banyak berlumur darah orang lain. Hal ini langsung membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan menangis terisak.
“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran… Apakah ada cara untuk menebusnya agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?”
Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra. Kedua matanya yang tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki itu.
“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa umat-Nya akan diampuni asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik, yaitu dosa karena menyekutukan Allah dengan sesuatu. Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.”
“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan keluargaku di surga?” ulang Ki Singalodra.
“Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila kalimatillah. Asal kita tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang menemui kematian di jalan jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk surga…tanpa dihisab.”
Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah. “Terima kasih, Kanjeng Gusti Pangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.”
Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian menyalami dan juga memeluk Ki Singalodra. Setelah itu salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri dan memberikan sambutannya, “Dahulu ketika menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk memperkuat barisan kaum Muslimin. Hamzah adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menjadi pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan sekarang, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan bagi kita seorang Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah, dengan izin Allah, dengan bergabungnya Ki Singalodra, barisa kita akan bertambah kuat. Cahaya kemenangan semakin dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah yang dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!”
“Amien ya Rabb! Allahu akbar!” teriak semua yang ada disitu. [] (Bersambung)
[1] Putera Sultan Hamengku Buwono II. Bab 2
ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGAN Thagut, sebagaimana air yang tidak pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang lainnya yang di antaranya para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.
Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.
Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga, namun mereka tetap waspada.
Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus memiliki persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting: bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan benar tentang makna jihad di Jalan Allah.
Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu bagiannya mengupas tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.
Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “…Thaghut merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup, keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal dari hukum Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut… Apakah ada yang ingin bertanya?”
Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2]juga bisa dianggap sebagai Thagut?”
“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-jenis pajak yang dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya melarat. Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil….”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-tiba Pangeran Diponegoro sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra. Ketika menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus duduk membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah menahannya.
“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,” bisiknya sambil tersenyum.
Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula. Walau hatinya merasa teramat sungkan.
“Pangeran,” ujar Taftayani. “… kita disini sedang membahas pajak dan Thagut. Apakah ada yang ingin ditambahkan?”
“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”
“Sedikit. Silakan paparkan…”
Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.
“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk rakyatnya…,” paparnya.
Kemudian dia melanjutkan, “…Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat subur. Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram hukumnya…”
Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar kalimat yang disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.
“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang? Bahkan orang-orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri…” tanya Pangeran Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah penjajah bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa yang dijajahnya. Baik perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang sekarang ada. Pajak sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia. Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan…”
“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?” tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono VI.
Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun ustadz itu malah mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan Pangeran…”
“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab Diponegoro, “…sebab itu, jika suatu kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah penaklukan, kalah, dan sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti ‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari apa? Yaitu membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta’ala, baik itu ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang korup, dan sebagainya. Itulah esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia dari kebathilan dan kezaliman…”
Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar menyayangi murid yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran Diponegoro, yang terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta ini memiliki banyak keistimewaan.
Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari kezaliman dan kesengsaraan.
“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,” tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro. Sebab itu, Sultan secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng. (Bersambung)
[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden Mas Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, kompleks makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.
[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan kecil tanpa perkecualian.
[3] Pajak atas pintu rumah.
[4] Pajak atas pekarangan rumah.
[5] Pajak atas hewan ternak.
[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya sedikit.
[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.
[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.
[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada pertunjukkan kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini.
[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga pajak pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa dibayar sepeser pun.
[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di keraton Jogyakarta, pada Jum’at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember 1785). Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
Bersambung...7 | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: Untold History of Pangeran Diponegoro (1) | |
| |
| | | | Untold History of Pangeran Diponegoro (1) | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |