Admin Admin
Jumlah posting : 257 Join date : 22.01.08
| Subyek: Menularkan "Penyakit" Positif Thu Jul 24 2008, 17:02 | |
| Slamet Riyadi, Menularkan "Penyakit" Positif Hendro Situmorang Slamet Riyadi dengan produk-produk inovasinya yang berbahan plastik limbah.
Ramah. Itulah kesan pertama yang muncul, saat berjumpa dengan peraih penghargaan Danamon Award 2007 untuk kategori usaha kecil, Slamet Riyadi. Sehari-hari, pria 57 tahun itu sibuk dengan kegiatan menganyam dan memberi pelatihan, kepada siapa saja yang memintanya untuk berbicara tentang kepedulian terhadap lingkungan.
Slamet menekuni usaha kerajinan tangan kecil-kecilan -meminjam istilahnya - selepas keluar dari pekerjaan sebagai operator genset di SPBU Kebayoran Lama pada 1998. Ia merintis usaha justru pada saat terjadi krisis moneter di negeri ini. Ketika masyarakat mencari alternatif melakukan usaha daur ulang, demikian pula Slamet. Ia menjadi perajin anyaman, dengan memilih limbah rumah tangga berbahan dasar plastik.
Walaupun tidak berjalan mulus sesuai keinginannya, bapak empat orang anak itu tidak menyerah untuk bisa menafkahi keluarganya. Jatuh bangun ia alami.
"Awalnya hanya membuat cendera mata, kreativitas kerajinan tangan yang khusus ditunjukkan untuk anak-anak sekolah. Saya memanfaatkan limbah yang tidak berguna menjadi barang berguna. Cendera mata yang dihasilkan dan dijual adalah bunga hias, tempat pensil, hiasan dinding, mainan pesawat terbang, perahu layar, dan gorden. Semua itu merupakan keterampilan praktis," kata pria kelahiran Yogyakarta, 21 September 1951 itu.
Slamet berterus terang mendapatkan inspirasi dari para lansia dan ibu-ibu rumah tangga di sekitarnya, yang punya keahlian menganyam. Kegiatan itu menjadi sumber idenya. Tetapi, para lansia dan ibu-ibu itu menganggur karena sulitnya memperoleh daun pandan di daerah Tangerang, yang menjadi bahan utama produk anyaman. Semakin banyak lahan beralih fungsi untuk kepentingan pabrik dan perumahan, menyebabkan pandan tidak lagi dibudidayakan dan akhirnya menjadi langka.
"Sangat disayangkan. Padahal lansia dan ibu-ibu rumah itu sangat pandai menganyam. Keahlian mereka turun-temurun," Slamet menjelaskan. Berangkat dari latar belakang tersebut, ia mencoba membuat usaha kecil skala rumah tangga berbasis pada limbah.
Pada tahun 2000, Slamet mendapat limbah industri pabrik berupa bahan kemasan pasta gigi, aluminum foil, berwarna silver millenium. Ia sama sekali tidak menyangkanya.
Keistimewaannya, kata Slamet, bahan tersebut sangat lentur, elastis, fleksibel, mudah dibentuk, dan warnanya indah. Tidak memerlukan tambahan warna lain jika diolah menjadi cendera mata. Sampah sejenis itu, awalnya tidak mempunyai nilai jual, sehingga pemulung ataupun pengepul enggan mengumpulkannya.
"Bahan aluminum foil yang tidak lolos dari standar kualitas, dibuang pabrik. Bahan-bahan seperti itulah yang saya beli dari pabrik, lalu dibelah-belah. Bahannya masih berupa lembaran selebar tujuh sentimeter dan panjangnya setengah sampai enam meter," katanya.
Bahan itu kemudian disambung-sambung dengan lakban. Melalui proses penyisiran, bahan kemudian dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki. Bahan itu yang selanjutnya didistribusikan kepada lansia untuk dianyam.
Sejak itu, Slamet memburu limbah industri ke kawasan industri di daerah Tangerang, Cikarang, Tambun, dan Bekasi.
Lumintu
Slamet menamakan usahanya Rumah Industri Lumintu. Lumintu, katanya, akronim dari "Lumayan itung-itung nunggu tutupnya umur". Dalam bahasa Jawa, Slamet memaknakan lumintu itu lumuntur, menurun ke anak cucu. Kalau orang Sunda, mengartikannya lumayan, menerima apa adanya yang merupakan karunia dari Tuhan.
Usaha itu, difokuskan membantu menciptakan sumber daya manusia yang kreatif, serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat dengan memberdayakan para lansia. Kepedulian terhadap lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan limbah industri dan limbah konsumen, untuk meminimalisasi sampah perkotaan.
Lumintu merupakan usaha rumah tangga. Perputaran modalnya sebesar Rp 20 juta. Pekerja menerima uang Rp 50.000 sampai Rp 80.000, bahkan bisa sampai Rp 100.000 per orang per minggu.
Lumintu membayar mereka setelah produk, seperti tas misalnya, laku terjual. "Kalau untuk anyaman, tidak harus menunggu laku dulu. Kami punya cadangan (uang), jadi langsung saya bayar," Slamet menjelaskan.
Ia mengakui, beberapa galeri datang langsung untuk memesan, karena menganggap produk Lumintu langka dan susah dicari. Slamet sempat melihat galeri-galeri itu. "Tidak banyak, tetapi tempatnya eksklusif dan produk kami menjadi barang mewah di sana," ujarnya. Membanggakan, menurut Slamet, karena tak seorang pun menyangka di balik pembuatan produk itu, lansia punya peran yang lumayan besar.
Dengan memanfaatkan semua potensi yang ada, Slamet terus mengembangkan program untuk meningkatkan produksi dan kualitas anyaman. Ia membuat rumah belajar anyaman untuk masyarakat setempat. Selain lansia dan ibu-ibu rumah tangga, remaja yang berstatus pelajar ataupun yang putus sekolah dapat belajar menganyam.
Melalui Lumintu, Slamet bertekad memperkenalkan kreativitas menganyam sejak dini, memacu masyarakat menghasilkan sesuatu yang baru melalui kreasi daur ulang, sehingga memiliki nilai tambah. Ia memberikan materi di sekolah dua-tiga jam, dan mengajarkan kepada anak-anak agar mencintai lingkungan, kebersihan, dan memberitahukan bahwa sampah punya manfaat.
Ia menganggap orang-orang yang telah menimba ilmu kepadanya sebagai mitra, bukan rival, karena sama-sama bertujuan menciptakan inovasi. "Untuk masalah rezeki, Tuhanlah yang mengatur semuanya," katanya.
Hingga kini, di Lumintu, Slamet dibantu 26 lansia yang berusia 70 tahun sampai yang tertua 96 tahun, 16 ibu rumah tangga, 12 anak usia sekolah dari SD sampai SMA, di samping pemulung. Sebagian besar memiliki keahlian menganyam dan mereka membawa pekerjaan ke rumah. Slamet tidak menetapkan target waktu.
Hasil anyaman kemudian dikembangkan menjadi berbagai jenis bentuk kerajinan. Di antaranya, tikar, sajadah, aneka macam tas, alas kaki, map seminar, tempat hantaran pengantin, dan lain-lain. "Sesuai permintaan pasar saja," kata Slamet, yang mendesain sebagian besar produk.
Hak Paten
Pada saat isu pemanasan global menghangat, banyak lembaga yang mengatasnamakan pemerhati lingkungan, mengangkat masalah tersebut ke permukaan. Tidak sedikit yang mengklaim sebagai yang pertama kali melakukan daur ulang plastik. Slamet sendiri tidak memedulikan hak paten. Baginya, siapa pun bisa menciptakan barang yang tidak berguna menjadi berguna, sehingga tidak perlu mematenkan karyanya.
"Sejak 1998 kami melakukan daur ulang. Kegiatan kami memang tidak terlalu diekspos, tidak ada promosi," tutur Slamet, yang pernah menjadi korban penipuan.
Yang paling penting, ia menegaskan, masyarakat menciptakan kreasi yang mempunyai nilai ekonomi. Setelah meraih keberhasilan, tidak berhenti di situ saja, namun belajar cara menjual, mencari pasar, dan siapa yang jadi sasaran pemasaran.
Slamet berbagi keterampilan di berbagai tempat, seperti di panti asuhan, gereja, masjid, lembaga-lembaga sosial, calon biksu, hingga anak-anak sekolah. Dari pengalamannya berbagi pengetahuan, Slamet memahami karakter yang berbeda pada masing-masing "murid"-nya. Masyarakat, membuat sesuatu karena menginginkan ada nilai tambah, sebagai tambahan ekonomi. Berbeda dengan anak sekolah, biasanya mengikuti kelasnya karena ingin bisa, sebagai ilmu, atau hobi.
Anak-anak pemulung, juga menjadi sasaran Slamet memberikan pelatihan. "Supaya mereka punya keterampilan. Dengan demikian, mereka bisa mengajarkan kepada yang lain. Setelah mempunyai keterampilan, mereka mau bersekolah lagi di kampungnya," Slamet berharap. Ia memang mengibaratkan, keterampilan yang diberikan bersifat seperti penyakit menular. [Hendro Situmorang]- Suara Pembaru
an | |
|