www.jaton.forumotion.com
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www.jaton.forumotion.com


 
IndeksIndeks  PortalPortal  PencarianPencarian  Latest imagesLatest images  PendaftaranPendaftaran  Login  Dunia  Mualaf  VidioDunia Mualaf Vidio  Jaton SilaturachmiJaton Silaturachmi  

 

 Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho

Go down 
PengirimMessage
rosian
rosian
rosian


Jumlah posting : 49
Join date : 22.01.08
Age : 75
Lokasi : Jakarta

Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho Empty
PostSubyek: Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho   Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho EmptyFri Feb 08 2008, 22:28

Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho
Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho Cheng_ho1
Dari Kasim Menjadi Laksamana
Proses Islamisasi di Asia Tenggara tidak steril dari campur tangan Laksamana Cheng Ho. Fakta mencatat, usai persinggahannya, banyak suku Tionghoa Muslim yang mendiami pesisir utara Jawa.
Arahkan perhatian sejenak ke kota Semarang. Pekan ini, dari tanggal 1-7 Agustus, sebuah gelaran akbar tengah berlangsung di sana, Festival Cheng Ho. Festival ini khusus dicanangkan untuk memperingati 600 tahun kedatangan laksamana ternama ini.
Sejak sebulan lalu, persiapan sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Maklum, untuk tahun ini, festival tersebut dirancang berskala internasional. Para tamu dan peserta yang bakal hadir pun tak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri.
Kamar-kamar hotel sejak jauh-jauh hari sudah habis terpesan. Dan kemeriahan bukan cuma nampak di kawasan Klenteng Sam Poo Kong, Gedung Batu, dan arena PRPP Semarang yang menjadi pusat kegiatan. Segenap penduduk kota Semarang juga antusias menyambutnya.
Kegairahan serta semangat untuk merayakan HUT 600 tahun pelayaran Laksamana Cheng Ho amatlah membanggakan. Apalagi bila ditilik lebih dalam tentang adanya pesan penting yang hendak disampaikan yaitu mengembangkan kerukunan antar masyarakat.
Seperti terungkap dalam Seminar Nasional "Sumbangan Cheng Ho Dalam Perkembangan Kehidupan Antar Etnis di Nusantara" pada Selasa (2/ lalu di Wisma Perdamaian Semarang, ekspedisi Cheng Ho selama 32 tahun (1405-1433) telah membawa arti penting bagi upaya membina toleransi antar sesama. Cheng Ho meramunya melewati batas perbedaan etnis, budaya, dan agama.
Dalam paparannya, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr AM Juliati Suroyo, mengatakan, sebagai pelaksana misi kaisar, Cheng Ho kemudian menjalin hubungan di berbagai bidang dengan penguasa di setiap wilayah yang disinggahinya, baik dari segi politik, ekonomi maupun sosio-kultural.
Namun di pihak lain, lanjut dia, Cheng Ho adalah juga seorang pemeluk Islam yang taat. Dan karenanya, pada setiap tempat yang didatangi, dia senantiasa menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan.
Yang perlu pula dicermati, lanjut dia, kedatangan Cheng Ho ke Jawa, bersamaan dengan awal proses Islamisasi. Ketika itu banyak pedagang asal Cina bermukim di kawasan pantai utara, dan sebagian mereka beragama Islam. "Kedatangan Cheng Ho sekaligus memberikan dukungan bagi para imigran Tionghoa ini agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat," tegasnya.
Menurutnya, ada dua alasan yang mendorong Cheng Ho mengharapkan demikian. Pertama, karena para pedagang itu sulit kembali ke tanah Cina akibat tekanan pemerintah, dan kedua, mereka yang Muslim merasa lebih bebas menetap di Nusantara.
Di samping itu, mengutip Sumanto al-Qurtubi, Juliati menyatakan kemungkinan besar, Cheng Ho memiliki agenda pribadi untuk turut menyebarkan agama Islam. "Meski begitu, diyakini dakwah yang dilakukan Cheng Ho bukan seperti dakwah yang kita kenal selama ini, melainkan berupa penyebaran nilai-nilai moral agama Islam," tukasnya.
Pada kesempatan sama, Prof Dr A Dahana, Guru Besar Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, berpendapat, perkiraan bahwa Cheng Ho juga menyebarkan Islam dalam ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta itu bisa ditelusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi di Asia Tenggara.
Selama ini, imbuhnya, arus Islamisasi yang dikenal hanya berasal dari dua tempat, yakni Gujarat dan Timur Tengah. "Munculnya teori tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses pengayaan khazanah kesejarahan kita. Meski begitu, untuk lebih mendukung teori tadi, masih diperlukan bukti-bukti yang kuat," kata Dahana lebih lanjut.
Dia menilai maksud dan tujuan Cheng Ho dalam menanamkan rasa persaudaraan cukup berhasil. Hal tersebut ditandai bahwa di beberapa tempat yang dikunjungi, kemudian masih terdapat tempat-tempat peribadatan yang menunjukkan adanya sinkretisme antara Islam, budaya lokal, dan Tionghoa.
Semangat itulah yang seharusnya bisa dipelihara, tandas Dahana, terutama ketika menghadapi berbagai tantangan zaman. Akan tetapi diakuinya, untuk mewujudkan tata hubungan masyarakat seperti pada masa lalu, teramat sulit kecuali di masing-masing kelompok masyarakat telah bersedia menerima perbedaan.
Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto mengemukakan harapan senada. Dalam sambutannya, ia menyatakan kerukunan yang telah ditanamkan oleh Laksamana Cheng Ho di masa lalu, masih tetap relevan pada masa kini. Kerukunan menurutnya merupakan kunci untuk memperkokoh persatuan serta senjata guna menghadapi era global.
Dijelaskan, bangsa Indonesia terkenal akan kemajemukannya. Dan kemajemukan itu apabila diyakini sebagai suatu rahmat, maka niscaya akan menjelma sebagai sumber kekuatan bangsa. Sebaliknya, bila tidak disikapi secara bijaksana, dapat berpotensi menimbulkan perpecahan.
''Sehingga yang perlu ditanamkan dalam peringatan ekspedisi Cheng Ho kali ini adalah, kerukunan bukanlah hal yang langsung jadi. Kerukunan adalah faktor penting yang harus diupayakan realisasinya untuk kemudian dipertahankan keberlangsungannya,'' tambahnya.
Salah seorang Ketua Panitia HUT 600 Tahun Pelayaran Cheng Ho, Haryanto Halim, mengharapkan perayaan ini tidak sekedar seremonial semata. ''Namun hendaknya dapat menjadi semangat dalam menumbuhkan kearifan lokal,'' ujarnya.
Mengingkari kearifan budaya, kata dia, sama dengan mengingkari nilai kemanusiaan. "Cheng Ho telah mengajarkan damai. Hendaknya kita saat ini mengartikulasikan ajaran tersebut dengan pendekatan yang humanis," ujar Halim. Festival Cheng Ho, adalah satu titik untuk membangun kebersamaan yang dulu pernah berjaya. (RioL)
(yus )

Dari Kasim Menjadi Laksamana

Dia memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara. Sebagai Muslim, dia menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin, kendati ia menjadi laksamana pada kerajaan bukan Islam.
Ekspedisi fenomenal Laksamana Cheng Ho telah tercatat dalam tinta emas sejarah. Di samping memiliki nuansa politik dan ekonomi, pelayaran armada Cheng Ho ke sejumlah negara itu juga berdimensi sosio-kultural yang menjadi perekat hubungan antar masyarakat dan budaya.
Dari situlah kemudian, banyak kajian dan ulasan yang mengupas kaitan makna pelayaran tersebut dengan kehidupan masa kini. Tak ketinggalan pula, latar belakang kehidupan Laksamana Cheng Ho tak habisnya dibahas untuk menyelami lebih dalam sosok kharismatik ini. Dan pepatah memang mengatakan, tak kenal maka tak sayang.
Banyak literatur sejarah mengenai asal usul Cheng Ho. Salah satunya adalah Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming). Disebutkan bahwa dia dilahirkan di Desa He Dai, Kabupaten Kunyang, Provinsi Yunan, pada tahun Hong Wu ke-4 (1371 M). Keluarganya bermarga Ma, dari suku Hui yang mayoritas beragama Islam.
Ma He merupakan nama kecil Cheng Ho. Tapi, dia memiliki nama lain, yakni Sam Po (Sam Poo atau San Po) dalam dialek Fujian atau San Bo dalam dialek bahasa nasional Tiongkok (Mandarin).
Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bernama Ma Hadzi sedangkan ibunya bernama Wen. Keluarga ini menganut agama Islam.
Ayah Cheng Ho adalah seorang pelaut dan Muslim taat. Tercatat dia pernah menuaikan ibadah haji, begitu pun dengan kakek dan buyutnya. Sampai saat ini, keluarga besar Ma atau Cheng merupakan penganut Islam yang taat.
Sejak kecil Cheng Ho sering mendengar cerita ayahnya tentang perjalanan naik haji dengan kapal layar selama berminggu-minggu. Banyak rintangan yang dihadapi, seperti hujan badai, iklim yang berbeda dari waktu ke waktu serta keanekaragaman adat istiadat. Sejarah mencatat, pengalaman sang ayah ini memberikan pengaruh besar bagi perjalanan hidup Cheng Ho.
Ketika masih berumur 12 tahun, Yunan yang kala itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Yuan, berhasil direbut oleh Dinasti Ming. Para pemudanya ditawan, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana.
Tak terkecuali Cheng Ho. Dia kemudian mengabdi kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing). Oleh raja, ia lantas diserahkan untuk menjadi pelayan putranya yang ke-4, Zhu Di.
Pada masa itu, kedudukan kasim umumnya tidak begitu disukai dan tidak dihargai oleh masyarakat Tiongkok. Namun Cheng mampu mengubah citra buruk seorang kasim. Selama mengabdi sebagai pelayan, Cheng Ho tidak menyia-nyiakan kesempatan dan yang ada di hadapannya. Ia membaca berbagai literatur dan ikut bertempur dalam peperangan antara pihak Zhu Di dan penguasa pusat Dinasti Ming.
Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah menyerang lawan-lawannya. Setelah Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar, maka sebagai bentuk penghargaan, Cheng Ho diangkat sebagai kepala kasim intern.
Sampai ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), tanpa ragu-ragu Cheng Ho menawarkan diri untuk memimpin ekspedisi ke berbagai penjuru negeri. Terkejut kaisar sekaligus terharu mendengar permintaan itu lantaran resiko besar yang akan dihadapi.
Maka persiapan pun dilakukan. Ini misi akbar. Ekspedisi Cheng Ho ke Samudera Barat, sebutan untuk lautan sebelah barat Laut Tiongkok Selatan sampai Afrika Timur, bakal mengerahkan armada raksasa. Pada muhibah pertama, tercatat sebanyak 62 kapal besar dan belasan kapal kecil dengan 27.800 ribu awak dikerahkan.
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho sendiri yang disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Sejarawan, JV Mills menduga, kapal itu berkapasitas 2500 ton. Desainnya bagus serta dilengkapi teknologi mutakhir -- pada masa itu -- seperti kompas magnetik.
Armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho itu pun berangkat pada tahun 1405. Namun terlebih dahulu rombongan menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian).
Ekspedisi pertama ini akhirnya mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka.

Kemudian armada itu singgah di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok) dan di Muara Jati (Cirebon). Saat menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Mereka mendarat di pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara di sana.
Wang--yang kini dikenal sebagai Kiai Jurumudi Dampo Awang--akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), dan membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
Tuban dan Gresik adalah persinggahan berikutnya. Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Berlanjut ke Surabaya, bertepatan dengan hari Jumat, maka Cheng Ho menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya.
Ekspedisi kedua berlayar tahun 1407-1409. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 ekspedisi berikutnya mencapai mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.
Dalam setiap misi pelayaran, terdapat banyak anggota rombongan beragama Islam. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, Pu Heri, dan banyak lagi.
Sebagai seorang Muslim, Laksamana Cheng juga tak melupakan kemakmuran masjid. Tahun 1413 misalnya, dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar.
Selama 28 tahun (1405-1433), Cheng Ho memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara. Di setiap negeri yang disinggahi, Cheng Ho merajut persahabatan dan perdamaian yang ditransformasikan lewat seni, budaya, dan pendidikan. Selain itu Laksamana Cheng juga berupaya menanamkan toleransi beragama. (RioL)

"Pusaka' Armada Cheng Ho
....bersambung
Kembali Ke Atas Go down
 
Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Bakdo Katupat, Lambang Kerukunan
» Acara : KERUKUNAN KELUARGA KAWANUA
» PERAYAAN Maulid di Manado Usung Kerukunan Beragama
» HALAL BIL HALAL 1431H KERUKUNAN KELUARGA BESAR JATON JAKARTA
» BERITA DUKACITA DARI KAMPUNG

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
www.jaton.forumotion.com :: KAJIAN :: Dunia Muslim-
Navigasi: